Salah satu hal yang
terlihat amat mengherankan adalah seorang mukmin berdoa tetapi doanya tidak
dikabulkan. Ia tetap berdoa dan terus berdoa. Namun, ternyata ia harus tetap
menanti pengabulannya dalam waktu yang cukup lama, bahkan ia tak melihat satu
pun tanda akan adanya pengabulan.
Dalam kondisi seperti itu, seorang mukmin mesti mengetahui bahwa
apa yang tengah dialaminya adalah sebuah ujian yang memerlukan kesabaran lebih,
dan bisikan-bisikan yang bergolak di jiwanya adalah sebuah penyakit yang harus
diobati.
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Lalu, mengapa Allah Ta’ala menunda, bahkan
menolak permohonan hamba-Nya?Pertama, telah
jelas, bahwa Allah Ta’ala adalah Pemilik. Seorang pemilik
berhak memberikan atau tidak memberikan apa-apa yang dimilikinya. Oleh karena
itu, memprotesnya adalah perbuatan yang tiada berguna.
Kedua, telah pasti, Allah Maha Bijaksana. Mungkin
kamu melihat dengan pengamatanmu bahwa permohonanmu adalah sesuatu hal yang
baik, namun dalam pandangan Allah ternyata dibalik permohonanmu terdapat
sesuatu yang membahayakanmu jika disegerakan pengabulannya. Beberapa tindakan
dokter terlihat mengandung bahaya jika dilihat dari luar, padahal maksudnya
adalah untuk kesembuhan, maka sangat mungkin keterlambatan terkabulnya doa sama
seperti tindakan dokter ini.
Ketiga, tidak terkabulnya doa mungkin disebabkan
kesalahan yang ada pada dirimu. Mungkin, makananmu mengandung unsur yang haram,
ataukah karena kelalaian hatimu saat berdoa. Dapat pula ini sebagai hukuman
bagimu atas dosa yang tak juga engkau sesali dengan sungguh-sungguh.
Keempat, ketiadaan apa yang kau inginkan sangat
mungkin membuatmu selalu mengiba dan memohon belas kasih kepada Tuhanmu,
sedangkan keterkabulan doa seringkali membuatmu lupa pada Dzat yang
menciptakanmu. Ini adalah sesuatu yang kasat mata, sebab jika bukan karena
keberadaan musibah, barangkali engkau tidak akan pernah mengiba pada-Nya. Allah
Maha Mengetahui bahwa makhluk-makhluk-Nya sering melupakan-Nya bila Dia selalu
memberi kebaikan padamu.
Oleh sebab itu, perlulah kiranya Dia memberi cobaan
kepada hamba-hamba-Nya disela-sela kenikmatan yang senantiasa dicurahkan-Nya
agar mereka terdorong mendekat kepada-Nya dan memohon dengan hina akan
pertolongan-Nya. Dengan demikian, ini termasuk karunia meskipun berbentuk
bencana. Bencana yang sesungguhnya adalah tatkala seseorang diberikan sesuatu,
lalu ia melupakan penciptanya. (Ibnu Jauzi, Shaid Al-Khathir)
No comments:
Post a Comment