Fakta sejarah mengatakan bahwa kaum wanita belum pernah
mendapatkan penghormatan dan kemuliaan seperti yang mereka dapatkan dari ajaran
Islam. Kaum wanita selalu diperlakukan secara hina sebelum kedatangan Islam.
Oleh karenanya, Islam datang membawa aturan, memberikan hak asasi bagi kaum
wanita yang belum pernah diberikan sebelumnya oleh ajaran-ajaran terdahulu.
Islam juga datang dengan memuliakan wanita, serta meninggikan kedudukan mereka.
Dalam kebudayaan Yunani Kuno, salah satu negara yang dianggap
maju kebudayaannya, wanita diperlakukan dengan semana-mena. Mereka tidak
memiliki kedudukan apapun selain sebagai pemuas hawa nafsu. Bahkan aristoteles
pernah mengutuk bangsa Asbarata karena mereka terlalu banyak memberikan
kemudahan kepada wanita dan memberikan mereka hak-hak yang berlebihan.
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Kemudahan yang dimaksud Aristoteles adalah hak kaum wanita Asbarata untuk
memiliki banyak suami. Walaupun demikian, kedudukan wanita bangsa Asbarata
tetaplah dianggap sebagai kaum yang hina. Bahkan dalam undang-undang bangsa
Asbarata, kaum laki-laki dibolehkan menikahi wanita dalam jumlah yang tak
terbatas. Mereka bangga dengan banyaknya wanita yang dimilikinya, serta
mengelompokkan mereka dalam tiga derajat. Ketiga derajat itu adalah istri sah,
istri setengah sah, dan derajat yang terakhir adalah wanita yang dijadikan
sebagai pemuas nafsu belaka.Kaum wanita
pada masa banga Romawi pun sama buruk nasibnya. Kesucian suatu pernikahan
tidaklah dianggap penting oleh bangsa Romawi, karena perkawinan dianggap bukan
sebagai suatu yang penting dan sakral. Bahkan hidup bersama tanpa ikatan
pernikahan dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan diakui oleh pemerintah.
Nasib buruk wanita di Barat, ternyata tidak jauh berbeda dengan
nasib mereka di negara-negara Timur. Poligini tanpa batas pun dilegalkan pada
masyarakat kebudayaan Hindu, Babilonia, maupun Persia. Di India, hak asasi kaum
wanita tidaklah diakui, bahkan hak untuk hidup. Bila seorang istri ditinggal
mati oleh suaminya, maka ia harus rela dibakar hidup-hidup bersama suaminya. Ia
juga harus memasukkan dirinya ke dalam api yang membakar jasad suaminya.
Dalam masyarakat Persia, kedudukan wanita tak jauh berbeda
dengan kedudukan seorang budak. Selama hidupnya, mereka selalu terkurung dalam
rumah suaminya. Mereka baru bisa keluar rumah jika mereka akan diperjualbelikan
di pasar. Bangsa Persia memberikan kebebasan mutlak kepada laki-laki untuk
menikahi siapa saja wanita yang ia sukai, baik itu ibunya, saudara wanitanya,
bibinya, atau anak perempuan saudara kandungnya. Kemalangan mereka pun semakin
lengkap sebab mereka akan diusir dari rumah jika mereka mengalami menstruasi.
Mereka hidup di tenda-tenda yang disebut dakhimi, terletak di
pinggiran kota, serta mereka dilarang bergaul dengan masyarakat. Mereka baru
boleh kembali ke rumah, jika masa menstruasi mereka telah habis.
Pada masa awal keruntuhan Rumania- negara yang diatur dengan
perundang-undangan Masehi, keadaan masyarakat diliputi kecenderungan pada pola
hidup seks bebas dan bermewah-mewahan. Pada situasi masyarakat yang kacau
seperti itu, muncul suatu paham kezuhudan yang membenci keturunan, karena jasad
dan keturunan dianggap najis. Mereka mengutuk wanita, sehingga ada anggapan
bahwa menjauhi wanita merupakan suatu amal kebaikan.
Hakikat kaum wanita pernah digugat pada suatu konferensi yang
diadakan oleh kaum Lahutiyyin pada abad kelima Masehi. Mereka beranggapan bahwa
wanita adalah jasad dan ruh yang mengajak pada kebinasaan serta menjauhkan
manusia dari keselamatan.
Pada kebudayaan masyarakat Jahiliyah, kaum wanita berada pada
puncak perlakuan yang paling hina. Kaum wanita diperlakukan dengan semena-mena,
kecuali kaum wanita dari kabilah atau suku-suku yang terpandang. Karena
dianggap demikian hinanya, maka masyarakat Arab Jahiliyah tidaklah segan-segan
mengubur bayi perempuan mereka hidup-hidup. Pada sebagian kabilah Arab, jika
seorang ayah meninggal, maka seluruh harta kekayaannya, termasuk budak serta
mantan istrinya menjadi warisan bagi anak laki-lakinya.
Emansipasi Wanita
Emansipasi wanita dibangun atas dua landasan teori pokok, yaitu,
menuntut kebebasan wanita, serta memperjuangkan persamaan antara laki-laki dan
perempuan (persamaan gender). Kedua konsep tersebut berasal dari Barat.
Propaganda emansipasi wanita dibawah naungan dua teori, yaitu kebebasan wanita
dan persamaan gender tersebut pertama kali muncul pada masa Revolusi Prancis
abad ke-XVIII. Pergerakan emansipasi ini muncul sebagai reaksi atas sikap para
pendeta yang menilai wanita sebagai sumber keburukan dan dosa. Sikap para
pendeta tersebut menimbulkan pergolakan yang sangat besar, sehingga masyarakat
kemudian melakukan aksi penolakan terhadap doktrin gereja dan pendeta. Pada
masa itu, merupakan masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara
umum, kaum wanita merasa dirugikan dalam semua bidang, serta dinomor duakan
oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat patriarki. Dalam
bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik, hak-hak kaum wanita
biasanya memang berada pada kedudukan yang inferior.
Dari latar belakang demikianlah, di Eropa muncul gerakan untuk
´menaikkan derajat kaum perempuan´ walaupun gaungnya kurang begitu keras. Baru
setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, hak-hak kaum
perempuan mulai diperhatikan. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat
karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang
isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari.
Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap
pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum wanita mulai diperhatikan, jam
kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki, dan mereka diberi kesempatan ikut
dalam pendidikan serta diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya
dinikmati oleh kaum laki-laki.
Perkembangan gerakan feminisme tidaklah terlepas dari pengaruh
arus kebebasan (liberalisme), sehingga gerakan ini kemudian menimbulkan efek
negatif, terutama bagi negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Wanita
kemudian digiring untuk bangga pada nilai-nilai budaya Barat. Sebagaimana
semboyannya, yaitu kebebasan, maka wanita bebas menentukan pilihan hidupnya
sendiri. Mereka bebas bekerja dalam bidang apapun, bebas bergaul tanpa batasan
apapun, bebas keluar rumah kapanpun, bahkan bebas melakukan aktivitas seksual
dengan siapapun.
Para wanita pun dibebaskan untuk menentukan pilihan, jika ia
menikah, maka ia boleh memutuskan untuk memiliki keturunan atau tidak. Seiring
perjalanan gerakan ini, maka mulailah nampak dampak buruk akibat kampanye-kampanye
gerakan feminisme tersebut. Perzinaan semakin merajalela, dan pelecehan seksual
pun sudah menjadi hal yang biasa terjadi. Dibeberapa negara, seperti Jerman dan
Prancis, jumlah kelahiran semakin menurun. Hal itu menyebabkan rasio antara usia
tua dengan usia muda hanya terjadi perbedaan tipis. Jika angka usia tua terus
meningkat, maka negara tersebut mulai terancam kekurangan tenaga-tenaga kerja
produktif. Oleh karenanya, pemerintahan Jerman dan Prancis memberikan tunjangan
bagi pasangan suami-istri yang bersedia memutuskan untuk memiliki keturunan,
serta merawat anak-anaknya. Bahkan kemudian muncul gerakan yang menentang
kampanye-kampanye feminisme di negara-negara Barat. Salah satunya adalah
gerakan sosial STOP-ERA (Equal Right Amandment). Gerakan anti feminisme ini
muncul pada saat para kaum feminisme memperjuangkan undang-undang, yang
menuntut parlemen Amerika Serikat memberikan kebebasan yang lebih besar kepada
wanita sebagaimana halnya kebebasan akses yang diberikan kepada laki-laki disana.
Namun gerakan STOP-ERA berhasil menggagalkan upaya tersebut, karena mereka
melihat bahwa amandemen terhadap undang-undang persamaan hak antara pria dan
wanita tersebut justru akan menghilangkan peran wanita yang sesungguhnya, yaitu
sebagai istri dan ibu.
Kedudukan Wanita Dalam Islam
Wanita adalah bagian dari masyarakat, ia adalah ibu, kakak,
adik, istri, atau bibi. Bila baik keadaan mereka, maka baik pula keadaan
masyarakat. Islam merupakan agama yang menyentuh fitrah manusia. Agama yang
menyelaraskan amalan dunia maupun akhirat. Islam pada hakikatnya mengarahkan
pembentukan masyarakat yang bersih dan sehat, serta menolak segala bentuk
penyelewengan yang dapat merusak kehidupan masyarakat. Islam memberikan
perhatian yang besar terhadap kaum wanita, serta menempatkannya pada kedudukan
yang terpuji.
“Dan kamu perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada
ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Lukman: 14)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah
dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisa: 19)
Seluruh ayat tersebut menunjukkan betapa Al-Qur’an menginginkan
dan menuntun kita untuk menghormati dan memuliakan kaum wanita. Selain ayat-ayat
di atas, masih terdapat banyak ayat lainnya yang menjelaskan tentang hak-hak
yang pantas didapatkan oleh kaum wanita, mencakup dalam masalah perkawinan,
perceraian, dan waris. Semua itu diatur dengan hukum yang penuh dengan keadilan
dan kebijaksanaan, sehingga kaum wanita terhindar dari unsur-unsur penganiayaan
maupun kezhaliman. Islam telah membebaskan wanita dari kezhaliman, aniaya,
serta perbudakan.
Namun, Islam tidak serta merta membebaskan para wanita untuk
berbuat sekehendak hatinya. Islam tidaklah membiarkan para wanita menjadi liar
tanpa norma maupun aturan. Oleh sebab itu, Islam menjadikan jilbab sebagai
pakaian yang melindungi kehormatan mereka, menjadikan rumah sebagai benteng
mereka, serta memerintahkan laki-laki (ayah, saudara laki-laki, paman, suami,
anak laki-laki) mereka sebagai penjaga keberlangsungan hidup mereka. Syari’at
mengatur perilaku, pakaian, dan peran wanita, tentu dengan tujuan untuk menjaga
kemuliaan mereka. Maka berbahagialah menjadi muslimah.
DAFTAR PUSTAKA
Syekh Bakr Abdullah Abu Zaid. ___. Menjaga Kehormatan Muslimah.
Solo: Daar An-Naba’
Dr. Mustofa Muhammad As-Syak’ah.1995. Islam Tidak Bermazhab.
Jakarta: GIP
http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme
http://en.wikipedia.org/wiki/Feminist
No comments:
Post a Comment