“Saibatin” bermakna satu batin atau memiliki satu
junjungan. Hal ini sesuai dengan tatanan sosial dalam Suku Saibatin, hanya ada
satu raja adat dalam setiap generasi kepemimpinan. Budaya Suku Saibatin
cenderung bersifat aristokratis karena kedudukan adat hanya dapat diwariskan
melalui garis keturunan. Tidak seperti Suku Pepadun, tidak ada upacara tertentu
yang dapat mengubah status sosial seseorang dalam masyarakat.
Ciri lain dari Suku Saibatin dapat dilihat dari perangkat yang digunakan dalam ritual adat. Salah satunya adalah bentuk siger (sigekh) atau mahkota pengantin Suku Saibatin yang memiliki tujuh lekuk/pucuk (sigokh lekuk pitu). Tujuh pucuk ini melambangkan tujuh adoq, yaitu suttan, raja jukuan/depati, batin, radin, minak, kimas, dan mas. Selain itu, ada pula yang disebut awan gemisir (awan gemisikh) yang diduga digunakan sebagai bagian dari arak-arakan adat, diantaranya dalam prosesi pernikahan.
Ciri lain dari Suku Saibatin dapat dilihat dari perangkat yang digunakan dalam ritual adat. Salah satunya adalah bentuk siger (sigekh) atau mahkota pengantin Suku Saibatin yang memiliki tujuh lekuk/pucuk (sigokh lekuk pitu). Tujuh pucuk ini melambangkan tujuh adoq, yaitu suttan, raja jukuan/depati, batin, radin, minak, kimas, dan mas. Selain itu, ada pula yang disebut awan gemisir (awan gemisikh) yang diduga digunakan sebagai bagian dari arak-arakan adat, diantaranya dalam prosesi pernikahan.
Di lingkungan masyarakat adat Saibatin, ada perbedaan antara
golongan penyimbang batin (keturunan bangsawan saibatin garis lurus) dan
golongan orang biasa. Golongan penyimbang batin dapat diketahui dari
kepemilikan dan hak menggunakan benda-benda perlengkapan adat. Sedangkan
golongan lainnya adalah golongan masyarakat yang tidak mempunyai benda-benda
perlengkapan adat dan tidak berhak memakainya. Bagi masyarakat adat Saibatin,
tertutup kemungkinan bagi golongan bangsawan lebih rendah untuk meningkatkan diri
menjadi golongan bangsawan yang lebih tinggi.
Dalam perkembangan sistem kekerabatan kehidupan masyarakat adat
Saibatin, ternyata telah mengalami perubahan. Perubahan di mana hubungan
perkawinan tidak semata tergantung pada satu keturunan darah dan asal usul
etnis. Kondisi hubungan perkawinan telah terbuka bagi segala etnis, oleh karena
daerah ini terdiri dari berbagai suku yang telah menyatu dalam waktu yang
relatif amat lama. Perbedaan hak waris adat antara anak laki dan perempuan
semakin tidak nyata. Masyarakat setempat cenderung memilih pembagian waris
menurut hukum-hukum agama dan negara, yaitu pihak anak perempuan memiliki hak
atas harta warisan orang tuanya. Sejak terjadinya banyak hubungan perkawinan
antar suku, maka ketergantungan terhadap prinsip garis penerus keturunan dari
anak laki-laki cenderung semakin berkurang.
Masyarakat adat Lampung
Saibatin
Masyarakat Adat Lampung Saibatin mendiami wilayah adat: Labuhan
Maringgai, Pugung, Jabung, Way Jepara, Kalianda, Raja Basa, Teluk Betung,
Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh,
Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa, Pesisir Krui, Ranau, Martapura, Muara Dua,
Kayu Agung, empat kota ini ada di Provinsi Sumatera Selatan,
Cikoneng di Pantai Banten dan bahkan Merpas di Selatan Bengkulu.
Masyarakat Adat Saibatin seringkali juga dinamakan Lampung Pesisir karena
sebagian besar berdomisili di sepanjang pantai timur, selatan dan barat
lampung, masing masing terdiri dari:
· Paksi Pak Sekala Brak (Lampung
Barat)
· Bandar Enom Semaka (Tanggamus)
· Bandar Lima Way Lima (Pesawaran)
· Melinting Tiyuh Pitu (Lampung Timur)
· Marga Lima Way Handak (Lampung Selatan)
· Pitu Kepuhyangan Komering (Provinsi Sumatera Selatan)
· Telu Marga Ranau (Provinsi Sumatera Selatan)
· Enom Belas Marga Krui (Pesisir Barat)
· Cikoneng Pak Pekon (Provinsi Banten)
Sumber:
Pic: https://sikamala.files.wordpress.com
http://www.indonesiakaya.com/
https://id.wikipedia.orghttp://staff.unila.ac.id/abdulsyani/2013/04/17/profil-masyarakat-adat-saibatin-dan-proses-pembentukan-pekon/
No comments:
Post a Comment