Menurut bahasa, Arab berarti padang pasir,
tanah gundul, dan gersang yang tidak terdapat air serta tanaman. Wilayah Arab
memiliki beberapa nama, di antaranya yaitu Jazirah Al-‘Arab (pulau
Arab) dan Ardh Al-‘Arab (bumi Arab). Sedangkan pada saat ini,
wilayah Arab lebih dikenal dengan nama Al-jazirah Al-Arabiyah (semenanjung
Arab). Semenanjung Arab adalah semenanjung terbesar di dunia. Semenanjung ini
dikelilingi oleh tiga lautan, yaitu Laut Merat di Barat, Teluk Arab di Timur,
serta Laut Yaman di Selatan. Bangsa Arab kemudian membagi wilayah mereka
berdasarkan bentuk bumi, iklim, dan jenis vegetasi, sehingga terbentuklah lima
wilayah yang meliputi:
- Wilayah Tihamah.
Biasa juga disebut dengan nama Ghaur atau Ghaur Tihamah, keduanya memiliki
makna yang sama.
- Hijaz.
Hijaz kota membentang dari pinggiran Mekah hingga Madinah Utara. Kemudian
Tabuk yang meliputi daerah Bani Sulaim, Waqim, Laila, Syauran, dan daerah
Nar. Sedangkan Hijaz pinggiran merupakan wilayah yang dibatasi oleh
pegunungan Sarah. Sarah secara bahasa bermakna puncak. Pegunungan ini
membentang dari gunung Tatslits hingga Thaif di Utara. Dengan demikian, di
wilayah Hijaz ini terdapat dua kota suci Islam, yaitu Mekah dan Madinah.
- Najd. Wilayah
ini di antaranya meliputi Da’iyah, Uyainah, Riyadh, dan Huraimala. Wilayah
Najd sebelum kehadiran dakwah syekh Muhammad bin Abdul Wahab diliputi oleh
ritual-ritual bid’ah, khurafat, dan kesyirikan. Di sana banyak terdapat
kuburan-kuburan, pohon-pohon, batu, serta gua yang dijadikan sebagai
tempat ritual peribadatan bid’ah.
- Arudh, disebut
juga Yamamah.
- Oman. Beberapa
pendapat ahli memasukkannya ke wilayah Yaman.
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Keadaan Najd Pada Masa Kekhalifahan Utsmani
Najd pada masa Kekhalifahan Utsmani tidaklah mendapat perhatian
yang besar. Selain itu, pemerintahan Utsmani juga tidak memiliki kekuasaan
langsung terhadap Najd. Kekuasaan Utsmani di Semenanjung Arabia hanya meliputi
Yaman, Hijaz, dan Bahrain. Pengaruh Utsmani terhadap Bahrain menjadi terputus
ketika pemimpin Bani Khalid, Barrak bin Gharir, menetapkan otonomi Bahrain dari
pemerintahan Utsmani pada tahun 1080 Hijriah.
Najd pada masa itu secara tidak
langsung berada dibawah kekuasaan penguasa Bahrain. Bahkan, Najd cenderung
menjadi ajang perebutan antara penguasa-penguasa (amir) yang berada di
sekeliling wilayah setempat. Oleh karenanya, Pemerintahan Turki memang tidak
memiliki pengaruh terhadap Najd. Walaupun pada tahun 986 Hijriah hingga 1108
Hijriah, ada sejumlah tokoh yang berusaha menguasai beberapa wilayah di Najd.
Namun, mereka tidak mendapat pengaruh yang besar di sana.
Hanya beberapa orang
saja yang kemudian tunduk kepada pemerintahan Turki. Itupun, pemerintahan Turki
tidak turut langsung menangani permasalahan internal wilayah Najd. Otoritas
kekuasaan, hukum, dan ekonomi berada dibawah amir wilayah tersebut. Sehingga,
tidaklah benar anggapan sebagian sejarawan yang menyatakan bahwa syekh Muhammad
bin Abdul Wahab dan pemerintahan Saudi memberontak, berusaha memerdekakan diri
dari kekuasaan Kekhalifahan Turki.
Menurut syekh Kamil Muhammad Uwaidhah, pertentangan antara syekh
Muhammad bin Abdul Wahab dengan Kekhalifahan Utsmani dipicu oleh upaya
musuh-musuh dakwah syekh Muhammad bin Abdul Wahab untuk menghalangi dakwah
beliau. Musuh-musuh beliau memprovokasi Kekhalifahan Utsmani agar memberangus
dakwah syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang dianggap sebagai ancaman terhadap
tradisi keagamaan di Mekah dan Madinah.
Ketakutan pemerintahan Utsmani pun semakin besar disebabkan
Dinasti Su’udiyah yang merupakan penopang dakwah syekh Muhammad bin Abdul Wahab
berhasil menguasai Najd, Amman, Irak, dan sebagian wilayah Syam. Hal tersebut
tentu mengancam kekuasaan Kekhalifahan Utsmani. Apalagi ketika Dinasti
Su’udiyah berhasil menguasai Mekah pada 1218 Hijriah, maka Kekhalifahan Utsmani
melakukan upaya politik baik melalui pendekatan diplomatis maupun agresif.
Upaya diplomatik dilakukan dengan mendekati ulama-ulama agar mereka menulis
karya-karya yang berisikan penentangan terhadap dakwah syekh Muhammad bin Abdul
Wahab. Sedangkan upaya agresif dilakukan dengan cara memerintahkan Muhammad
Ali, penguasa Mesir pada saat itu, agar memerangi Dinasti Su’udiyah.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab lahir pada tahun 1115 Hijriah di
Uyainah, Negeri Najd, Semenanjung Arabia, dan wafat pada 1206 Hijriah. Beliau
bernama lengkap Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Musyrif An-Najdi At-Tamimi.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab menganut mazhab Hambali. Ia
banyak mengkaji pemikiran Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Misi
dakwah syekh Muhammad bin Abdul Wahab adalah berupaya untuk menghilangkan
kebodohan, bid’ah, tahayul, kesyirikan, dan perpecahan, yang pada masanya itu
banyak terjadi pada kaum muslimin. Oleh karenanya, syekh Muhammad bin Abdul
Wahab banyak mengingkari dan menentang orang-orang yang berbuat bid’ah,
menghilangkan adat istiadat yang bertentangan syari’at, menebang pohon-pohon
yang dikeramatkan, dan menghancurkan bangunan-bangunan yang didirikan di atas
kubur.
Pada awal dakwahnya, syekh Muhammad bin Abdul Wahab mendapat
banyak dukungan dari masyarakat Uyainah. Di tempat ini pula, syekh Muhammad bin
Abdul Wahab mengamankan diri dari ancaman orang-orang yang membenci dakwahnya.
Walaupun pengikut dakwahnya semakin besar jumlahnya, namun hal tersebut diikuti
pula dengan ancaman yang semakin gencar terhadap syekh Muhammad bin Abdul
Wahab. Oleh karenanya, pengikut syekh Muhammad bin Abdul Wahab meminta Muhammad
ibnu Sa’ud untuk melindungi beliau. Muhammad ibnu Sa’ud bersedia memberikan
perlindungan pada syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Dengan adanya kerjasama
antara Muhammad ibnu Sa’ud dengan syekh Muhammad bin Abdul Wahab inilah, maka
dakwah syekh Muhammad bin Abdul Wahab berkembang pesat di Jazirah Arab.
Istilah wahabi yang selama ini dikaitkan dengan
paham syekh Muhammad bin Abdul Wahab, umumnya diberikan oleh pihak-pihak yang
berseberangan dengan beliau, walaupun kemudian sebutan wahabi memang populer
digunakan untuk menyebutkan paham yang dibawa oleh syekh Muhammad bin Abdul
Wahab.
Gerakan dakwah syekh Muhammad bin Abdul Wahab pernah mengalami
dua masa kejayaan. Masa kejayaan pertama dimulai pada abad kesembilan belas
dibawah pimpinan dinasti Ibnu Sa’ud yang didirikan oleh Muhammad ibnu Sa’ud
(1735-1766). Pada masa kejayaannya, dinasti Ibnu Sa’ud berhasil menguasai
Karbala (1801), Mekah (1803), Madinah (1804). Namun pada 1818, dinasti Sa’ud
harus menerima kekalahan dari Gubernur Mesir yang pada saat itu berada dibawah
pimpinan Muhammad Ali. Kekuasaan dinasti Sa’ud pada saat itu hanya melingkupi
wilayah Najd.
Masa kejayaan kedua terjadi pada tahun-tahun pertama abad kedua
puluh dimasa kekuasaan Abdul Aziz ibnu Abdurrahman Al-Faisal Al-Sa’ud
(1880-1953). Ia merupakan salah seorang keturunan penguasa Najd yang kemudian
kembali menguasai Riyadh pada tahun 1901. Setelah perang dunia pertama, ia
berhasil menguasai seluruh Arab Tengah. Ia kemudian menduduki Mekah pada tahun
1924 serta menguasai Madinah dan Jeddah pada tahun 1925. Setelah ia mendapatkan
gelar raja, maka pada tahun 1932 negaranya diberi nama Saudi Arabia (Al-Mamlakat
Al-‘Arabiyyat Al-Sa’udiyya). Raja Abdul ‘Aziz Al-Sa’ud kemudian menjadikan
paham Muhammad bin Abdul Wahab sebagai ideologi negara, sehingga paham tersebut
menyebar di seluruh Jazirah Arab, termasuk di dua kota suci Islam, Mekah dan
Madinah.
Sebagian besar karya syekh Muhammad bin Abdul Wahab membahas
tentang permasalahan tauhid. Di antara karya-karyanya yaitu Ushul
Al-Iman, Mukhtashar Zad Al-Mi’ad, Mukhtashar Shahih
Bukhari, Masail Al-Jahiliyah, Mukhtashar As-Sirat
An-Nabawiyah, Tsalatsat Al-Ushul, dan At-Tauhid Alladzi
Huwa Haqqullah ‘Ala Al-Abid.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aql, Nashir bin Abdul Karim. 2006. Hanya Islam, Bukan
Wahabi terjemah: Abdur Rosyad Siddiq. Jakarta: Darul Falah
Abu Zaid, Bakr bin Abdullah. 2008. Jangan Nodai Tanah
Arab terjemah: Muhammad Muhtadi. Solo: Multazam
Mubarakfury, Shafiyyurrahman. 2006. Sirah Nabawiyah terjemah:
Kathur Suhardi. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar
Pijper, G.F.. 1985. Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 terjemah:
Tudjimah dan Yessy Augusdin. Jakarta: UI Press
Uwaidhah, Kamil Muhammad. 2004. Muhammad bin Abdul Wahab
dan Gerakan Wahabi terjemah: Ahmad Fatoni dan Tatik Chusniyati.
Malang: Penerbit Madinah
Zainu, Muhammad bin Jamil. 2010. Ada Apa Dengan Wahabi,
Pro Kontra Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab terjemah: Abu Ayyub.
Bekasi: Pustaka Imam Nawawi
No comments:
Post a Comment