Gerakan politik dalam Islam muncul pertama kali pada akhir
pemerintahan Utsman bin Affan (wafat 656) yang ditandai dengan kehadiran
Abdullah bin Saba’ (± 600-670).
Abdullah bin Saba' memprovokasi aksi pemberontakan terhadap
Utsman, serta berusaha menyingkirkannya dari jabatan khalifah dengan alasan
bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling berhak menduduki jabatan
khalifah setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Para pemberontak berhasil mencapai
misinya dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Kemudian mereka ingin
mengangkat khalifah baru yang bisa diterima oleh semua pihak kaum muslimin.
Mereka menilai bahwa keberadaan pemimpin sangat diperlukan untuk menjaga
stabilitas negara. Ali bin Abi Thalib lalu terpilih sebagai khalifah karena
desakan dari warga Madinah yang mulai resah dengan situasi politik bangsanya
yang mulai labil setelah berakhirnya masa kepemimpinan Utsman bin Affan
(Al-Wakil, 2005).
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Ternyata peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan menimbulkan
masalah yang serius. Masalah terberat adalah tuntutan dari ahli waris Utsman
yang meminta agar Ali bin Abi Thalib mengadili pembunuh Utsman dengan
menerapkan hukum Allah SWT. Muawiyah bin Abu Sofyan (wafat 680) merupakan salah
seorang di antara sahabat nabi yang menuntut agar Ali bin Abi Thalib mengadili
para pelaku pembunuhan Utsman bin Affan (Al-Wakil, 2005). Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah (2006) menjelaskan bahwa ketika terjadi
kesepakatan antara Ali dan Muawiyah untuk melakukan tahkim (pengadilan)
terhadap pelaku pembunuhan Utsman, muncul segolongan orang yang menyatakan
tiada hukum kecuali hukum Allah. Golongan tersebut memisahkan diri dari jamaah
kaum muslimin, memberontak pemerintahan yang sah, dan menghukumi siapapun yang
tidak berhukum dengan hukum Allah sebagai kafir. Mereka inilah kelompok
pemberontak yang dikenal dengan khawarij.
Perselisihan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah kian
sengit akibat perbedaan pendapat antara kedua belah pihak dalam penetapan
hukuman bagi pelaku pembunuhan Utsman bin Affan. Kekacauan internal umat Islam
semakin memuncak. Khawarij menetapkan bahwa pelaku pembunuhan Utsman bin
Affan adalah kafir. Ketika itu, muncul kelompok yang bersikap menahan diri,
tidak mau terlibat dalam menghukumi pelaku dosa besar. Mereka dijuluki dengan murji’ah.
Secara umum, murji'ah berpendapat bahwa dosa tidak mempengaruhi keimanan
seseorang serta beranggapan bahwa iman cukup dengan pembenaran dan pengakuan.
Mereka menganggap perbuatan tidak berhubungan dengan iman. Murji’ah memiliki
paham yang bertolakbelakang dengan khawarij (Abu Zahrah,
1996).
Pergolakan politik selanjutnya muncul dari kelompok syiah. Syiah
biasanya dikaitkan dengan kelompok ekstrem yang mendukung Ali bin Abi Thalib
beserta keturunannya (ahlul bait) sebagai penerus kepemimpinan setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Kelompok ini bahkan memberikan kedudukan yang lebih
mulia kepada Ali bin Abi Thalib daripada Abu Bakar dan Umar bin Khathab (wafat
646) (Al-Wakil, 2005). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (2006)
mengungkapkan bahwa syiah menganggap imam-imam mereka terbebas dari dosa (ma’shum),
mengetahui segala hal, dan menjadikan pendapat para imam mereka sebagai sumber
rujukan mengenai hukum. Black (2006) berpendapat bahwa syiah merupakan musuh
bebuyutan Dinasti Umayah (661-750) dan Abasiah (750-1258). Syiah menolak
kepemimpinan Dinasti Umayah dan Abasiah karena keduanya dinilai tidak
menerapkan nilai-nilai keimanan dan amoral. Paham syiah yang terkenal pada saat
ini adalah sekte syiah imam dua belas (mazhab syi’ah al imamiyah al itsna
‘asyariyah) yang dalam sejarahnya paham ini baru muncul pada abad ke
sepuluh atau sebelas Masehi.
Pada masa Bani Umayah, muncul gerakan yang mengembangkan
pemikiran bahwa setiap perilaku manusia muncul dikarenakan takdir Allah semata,
bukan karena dorongan kehendak manusia itu sendiri. Gerakan ini bernama jabariyah yang
dipelopori oleh Jahm bin Shafwan (wafat 128 Hijriah, 745/746 Masehi). Para ahli
sejarah mengungkapkan bahwa paham ini pertama kali diyakini oleh orang-orang
Yahudi. Mereka kemudian menyebarluaskannya ke kalangan kaum muslimin. Namun
paham ini berkembang bukan semata-mata karena kaum Yahudi, sebab keyakinan ini
juga dianut orang-orang Persia Zoroaster. Jabariyah memiliki
beberapa pemahaman di antaranya menganggap bahwa surga dan neraka tidak kekal,
iman hanyalah pengenalan (ma’rifah) sedangkan kekufuran hanyalah
ketidaktahuan (al-jahl), serta tidak meyakini bahwa Allah SWT dapat
dilihat pada hari kiamat. Kelompok yang berlawanan dengan jabariyah dalam
mengkaji masalah takdir adalah qadariyah. Jika jabariyah menyatakan
perilaku manusia seluruhnya diatur oleh takdir, maka qadariyah beranggapan
sebaliknya, dorongan perilaku manusia seluruhnya disebabkan kehendaknya
sendiri, tidak ada pengaruh takdir. Orang yang pertama kali melahirkan paham qadariyah adalah
Ma’bad Al-Juhani (wafat 699) dan Ghailan Al-Dimasyqi (wafat 722). Ma’bad
Al-Juhani mengembangkan paham ini di Irak, sedangkan Ghailan Al-Dimasyqi
mengembangkannya di Syam (Abu Zahrah, 1996).
Pada masa tabiin, muncul pemikiran yang dinamakan mu’tazilah.
Sejarah munculnya mu’tazilah tidak terlepas dari nama Washil
bin Atho (wafat 750). Ia merupakan murid Hasan Al-Basri (wafat 728). Washil bin
Atho selalu menghadiri kelompok pengajian yang diadakan oleh Hasan Al-Basri di
sebuah masjid di kota Bashrah, Irak. Ia kecewa terhadap Hasan Al-Basri yang
menyatakan bahwa pelaku dosa besar dimasukkan sebagai golongan munafik. Washil
pun menyanggah pernyataan Hasan Al-Basri. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa
besar dinyatakan keluar dari Islam, namun tidak mutlak menjadi kafir.
Disebabkan kekecewaan itulah, Washil akhirnya memisahkan diri dari kelompok
pengajian Hasan Al-Basri. Ia membuat kelompok pengajian sendiri, namun berada
pada masjid yang sama dengan kelompok pengajian Hasan Al-Basri. Orang-orang
yang merasa cocok dengan pemikiran Washil, kemudian mereka ikut bergabung
dengannya. Maka sejak saat itulah, muncul gerakan mu’tazilah.
Metode berpikir mereka sangat dipengaruhi filsafat Yunani, sehingga mereka
menafsirkan permasalahan akidah dengan menggunakan akal (Asy Syak’ah, 1995).
Gerakan pemikiran Islam lainnya, yaitu sufi, menurut Asy Syak’ah
(1995) muncul dari kalangan orang-orang yang dikenal sebagai ahli zuhud,
menjauhi kemewahan dunia, serta selalu merasa puas dengan keterbatasan dalam
mencari nafkah untuk kehidupan duniawinya. Kata sufi biasanya
terkait dengan orang-orang yang senang mengenakan pakaian wol. Pakaian wol
dianggap sebagai lambang kesederhanan dan kerendahhatian. Beberapa kritik ulama
terhadap kalangan sufi diarahkan pada kecenderungan mereka yang terlalu
menyibukkan diri pada urusan rohani sehingga mereka seringkali melalaikan
urusan duniawi.
Orang yang pertama kali dikenal sebagai sufi adalah Abu Hasyim
Ash-Shufi. Namun ada juga pendapat yang menyatakan bahwa orang pertama yang
mendapat julukan Ash-Shufi ialah Abduka Ash-Shufi yang wafat tahun 210 Hijriah
(825/826 Masehi). Sementara itu, Jabir bin Hayyan yang wafat pada 200 Hijriah
(815/816 Masehi) juga dijuluki sebagai Ash-Shufi. Dengan demikian istilah sufi
diperkirakan telah ada pada pertengahan abad kedua Hijriah (Asy Syak’ah, 1995).
Ihsan Ilahi Dhahir (2008) menyebutkan paling tidak ada empat aliran besar dalam
kelompok sufi. Ar-Rifa’iyah merupakan aliran sufi yang
bersumber dari ajaran Abu Al-Abbas Ahmad bin Abu Al-Husein Ar-Rifa’i
(1118-1181). Sedangkan aliran sufi At-Tijaniyah, maka paham aliran
ini berasal dari pemikiran yang dikembangkan oleh Abu Al-Abbas Ahmad bin
Muhammad bin Al-Mukhtar At-Tijani (wafat 1815). Kemudian Asy-Syadziliyah,
merupakan aliran sufi yang awal kemunculannya berasal dari daerah bernama
Syadziliyah. Pendiri aliran ini ialah Abu Al-Hasan Ali bin Abdullah yang lahir
pada 1197. Sedangkan aliran sufi Al-Qadiriyah, paham aliran ini
berasal dari ajaran syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Ia lahir pada 1077 di Kailan,
Baghdad.
Abu Zahrah (1996) menjelaskan bahwa salafi merupakan orang-orang
yang mengidentifikasikan pemikiran mereka dengan pemikiran salaf. Mereka muncul
pada abad ke-4 Hijriah. Pemikiran mereka berasal dari paham Ahmad bin Hambal
yang dianggap sebagai imam yang menjaga kemurnian akidah salaf. Asy Syak’ah
(1995) berpendapat bahwa keinginan salafi kembali merujuk pada Al-Qur’an dan
hadis akibat keberadaan berbagai pendapat yang menafsirkan akidah dengan
mengedepankan akal dan filsafat, terutama yang dipelopori oleh kalangan mu’tazilah.
Muncul perdebatan antar beberapa kelompok Islam dalam memahami akidah. Kalangan asy’ariyah yang
dipelopori Abu Hasan bin Ali bin Ismail Al-Asy’ari (wafat 935) mengembangkan
pendekatan akal dalam memahami akidah guna menghadapi mu’tazilah.
Bakar (2002) menyatakan bahwa kalangan asy’ariyah mengembangkan
pendekatan akal karena mereka menganggap hal tersebut diperlukan untuk membela
akidah salaf yang sering diserang oleh gerakan-gerakan pemikiran menyimpang
yang juga mengedepankan akal dalam memahami akidah. Asy’ariyah memandang
kalangan salaf yang membatasi pada Al-Qur’an dan hadis dalam memahami akidah
merupakan bentuk kehati-hatian, sedangkan pendekatan akal yang mereka (asy’ariyah)
gunakan dalam memahami akidah dinilai lebih ilmiah. Namun pendekatan akal yang
dikembangkan asy’ariyah tidak mendapat sambutan baik dari para
pengikut Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah). Hanabilah menilai asy’ariyah sebagai
kelompok yang membawa pola pemikiran yang baru (khalaf; yang muncul
belakangan). Maka muncullah istilah salaf yang digunakan
kalangan Hanabilah untuk membedakannya dengan pemikiran para khalaf.
Dakwah salafiyah mengalami perkembangan pesat abad ke-13, yaitu
pada masa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Setelah itu, pada abad
ke-18 muncul paham serupa yang disebarluaskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (Abu
Zahrah, 1996). Paham salafiyah memandang bahwa iman mencakup perkataan,
perbuatan, serta keyakinan. Pelaku dosa besar tidaklah keluar dari Islam, namun
dosa mempengaruhi keadaan imannya. Dosa menjadikan imannya menurun, sedangkan
amal soleh akan menaikkan derajat keimanannya. Dalam masalah takdir, paham ini
beranggapan bahwa manusia diciptakan Allah SWT disertai dengan perbuatannya.
Setiap individu memiliki kehendak dan perbuatan, sehingga ia dapat berusaha
sesuai dengan keinginannya. Ia juga memiliki akal yang menjadikannya mampu
membedakan antara baik dengan yang buruk. Namun kehendak manusia itu mengikuti
kehendak Allah SWT. Segala yang dikehendaki-Nya pasti terjadi, dan segala hal
yang tidak di kehendaki-Nya tidak akan terjadi. Selain itu, dalam perhormatan
terhadap ahlul bait, paham salafiyah juga mencintai dan menghormati
kedudukan ahlul bait (keluarga dan keturunan Nabi Muhammad)
(Al-Atsari, 2007).
Aceh (1986) menyebutkan pokok-pokok agama yang merupakan
keyakinan salaf, di antaranya berkeyakinan bahwa Tuhan itu adalah satu,
Muhammad merupakan utusan-Nya, meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan Jibril
dalam bahasa Arab serta mengimani bahwa Allah SWT dapat dilihat di akhirat
kelak, mengakui adanya hari kiamat, adanya hari kebangkitan setelah kematian,
serta meyakini adanya surga dan neraka. Mereka juga mengimani nama dan sifat
Allah SWT, tidak menyerupakan sifat dan nama-Nya dengan makhluk-Nya, dan
menafsirkan maknanya sesuai yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun sunnah Nabi
Muhammad SAW.
Kepustakaan :
Abu al-Louz, Abd al-Hakim. tt. New Salafist Dogmas:
Strict Beliefs and Cultural Limits. se1.isn.ch/serviceengine/Files/ISN/.../en/Chapter+4.pdf
Abu Zaid, Bakr bin Abdullah. 2008. Jangan Nodai Tanah
Arab terjemah: Muhammad Muhtadi. Solo: Multazam
Abu Zahrah, Imam Muhammad. 1996. Aliran Politik dan
Akidah Dalam Islam terjemah: Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib.
Jakarta Selatan: Logos
Aceh, Abubakar. 1986. Salaf: Islam Dalam Masa Murni.
Solo: Ramadhani
Al-Wakil, Muhammad Sayyid. 2005. Wajah Dunia Islam terjemah:
Fadhdli Bahri. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar
Asy Syak’ah, Mustofa Muhammad. 1995. Islam Tidak
Bermazhab terjemah: A.M. Basamalah. Jakarta: Gema Insani Press
Al-Atsari, Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari. 2007. Intisari
Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terjemah: Farid bin Muhammad
Al-Bathathy. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i
Black, Antony. 2006. Pemikiran Politik Islam terjemah:
Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati. Jakarta: Serambi
Blanchard, Christopher M. 2008. The Islamic Traditions
of Wahhabism and Salafiyya. www.fas.org/sgp/crs/misc/RS21695.pdf
Hasan, Noorhaidi. 2006. Laskar Jihad: Islam, Militancy,
and the Quest for Indentity in Post-New Order Indonesia. New York: Cornell
Southeast Asia Program Publications
____, _____. 2007. Islamic Militancy, Sharia, and
Democratic Consolidation in-post Suharto Indonesia. Singapore: S.
Rajaratnam School of International Studies
____, _____. 2002. Faith and Politics: The Rise of
Laskar Jihad in The Era of Transition in Indonesia. http://cip.cornell.edu/DPubS?service=UI&version=1.0&verb=Display&handle=seap.indo/1106940156
Dhahir, Ihsan Ilahi. 2008. Darah Hitam Tasawuf: Studi
Kritis Kaum Sufi terjemah: Fadhli Bahri: Darul Falah
No comments:
Post a Comment