Pages

Pemikiran-Pemikiran Dalam Islam

Monday, December 14, 2015

Gerakan politik dalam Islam muncul pertama kali pada akhir pemerintahan Utsman bin Affan (wafat 656) yang ditandai dengan kehadiran Abdullah bin Saba’ (± 600-670).

Abdullah bin Saba' memprovokasi aksi pemberontakan terhadap Utsman, serta berusaha menyingkirkannya dari jabatan khalifah dengan alasan bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling berhak menduduki jabatan khalifah setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Para pemberontak berhasil mencapai misinya dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Kemudian mereka ingin mengangkat khalifah baru yang bisa diterima oleh semua pihak kaum muslimin. 

Mereka menilai bahwa keberadaan pemimpin sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas negara. Ali bin Abi Thalib lalu terpilih sebagai khalifah karena desakan dari warga Madinah yang mulai resah dengan situasi politik bangsanya yang mulai labil setelah berakhirnya masa kepemimpinan Utsman bin Affan (Al-Wakil, 2005).


Ternyata peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan menimbulkan masalah yang serius. Masalah terberat adalah tuntutan dari ahli waris Utsman yang meminta agar Ali bin Abi Thalib mengadili pembunuh Utsman dengan menerapkan hukum Allah SWT. Muawiyah bin Abu Sofyan (wafat 680) merupakan salah seorang di antara sahabat nabi yang menuntut agar Ali bin Abi Thalib mengadili para pelaku pembunuhan Utsman bin Affan (Al-Wakil, 2005). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (2006) menjelaskan bahwa ketika terjadi kesepakatan antara Ali dan Muawiyah untuk melakukan tahkim (pengadilan) terhadap pelaku pembunuhan Utsman, muncul segolongan orang yang menyatakan tiada hukum kecuali hukum Allah. Golongan tersebut memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin, memberontak pemerintahan yang sah, dan menghukumi siapapun yang tidak berhukum dengan hukum Allah sebagai kafir. Mereka inilah kelompok pemberontak yang dikenal dengan khawarij.

Perselisihan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah kian sengit akibat perbedaan pendapat antara kedua belah pihak dalam penetapan hukuman bagi pelaku pembunuhan Utsman bin Affan. Kekacauan internal umat Islam semakin memuncak.  Khawarij menetapkan bahwa pelaku pembunuhan Utsman bin Affan adalah kafir. Ketika itu, muncul kelompok yang bersikap menahan diri, tidak mau terlibat dalam menghukumi pelaku dosa besar. Mereka dijuluki dengan murji’ah. Secara umum, murji'ah berpendapat bahwa dosa tidak mempengaruhi keimanan seseorang serta beranggapan bahwa iman cukup dengan pembenaran dan pengakuan. Mereka menganggap perbuatan tidak berhubungan dengan iman. Murji’ah memiliki paham yang bertolakbelakang dengan khawarij (Abu Zahrah, 1996).

Pergolakan politik selanjutnya muncul dari kelompok syiah. Syiah biasanya dikaitkan dengan kelompok ekstrem yang mendukung Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya (ahlul bait) sebagai penerus kepemimpinan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Kelompok ini bahkan memberikan kedudukan yang lebih mulia kepada Ali bin Abi Thalib daripada Abu Bakar dan Umar bin Khathab (wafat 646) (Al-Wakil, 2005). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (2006) mengungkapkan bahwa syiah menganggap imam-imam mereka terbebas dari dosa (ma’shum), mengetahui segala hal, dan menjadikan pendapat para imam mereka sebagai sumber rujukan mengenai hukum. Black (2006) berpendapat bahwa syiah merupakan musuh bebuyutan Dinasti Umayah (661-750) dan Abasiah (750-1258). Syiah menolak kepemimpinan Dinasti Umayah dan Abasiah karena keduanya dinilai tidak menerapkan nilai-nilai keimanan dan amoral. Paham syiah yang terkenal pada saat ini adalah sekte syiah imam dua belas (mazhab syi’ah al imamiyah al itsna ‘asyariyah) yang dalam sejarahnya paham ini baru muncul pada abad ke sepuluh atau sebelas Masehi.

Pada masa Bani Umayah, muncul gerakan yang mengembangkan pemikiran bahwa setiap perilaku manusia muncul dikarenakan takdir Allah semata, bukan karena dorongan kehendak manusia itu sendiri. Gerakan ini bernama jabariyah yang dipelopori oleh Jahm bin Shafwan (wafat 128 Hijriah, 745/746 Masehi). Para ahli sejarah mengungkapkan bahwa paham ini pertama kali diyakini oleh orang-orang Yahudi. Mereka kemudian menyebarluaskannya ke kalangan kaum muslimin. Namun paham ini berkembang bukan semata-mata karena kaum Yahudi, sebab keyakinan ini juga dianut orang-orang Persia Zoroaster. Jabariyah memiliki beberapa pemahaman di antaranya menganggap bahwa surga dan neraka tidak kekal, iman hanyalah pengenalan (ma’rifah) sedangkan kekufuran hanyalah ketidaktahuan (al-jahl), serta tidak meyakini bahwa Allah SWT dapat dilihat pada hari kiamat. Kelompok yang berlawanan dengan jabariyah dalam mengkaji masalah takdir adalah qadariyah. Jika jabariyah menyatakan perilaku manusia seluruhnya diatur oleh takdir, maka qadariyah beranggapan sebaliknya, dorongan perilaku manusia seluruhnya disebabkan kehendaknya sendiri, tidak ada pengaruh takdir. Orang yang pertama kali melahirkan paham qadariyah adalah Ma’bad Al-Juhani (wafat 699) dan Ghailan Al-Dimasyqi (wafat 722). Ma’bad Al-Juhani mengembangkan paham ini di Irak, sedangkan Ghailan Al-Dimasyqi mengembangkannya di Syam (Abu Zahrah, 1996).

Pada masa tabiin, muncul pemikiran yang dinamakan mu’tazilah. Sejarah munculnya mu’tazilah tidak terlepas dari nama Washil bin Atho (wafat 750). Ia merupakan murid Hasan Al-Basri (wafat 728). Washil bin Atho selalu menghadiri kelompok pengajian yang diadakan oleh Hasan Al-Basri di sebuah masjid di kota Bashrah, Irak. Ia kecewa terhadap Hasan Al-Basri yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar dimasukkan sebagai golongan munafik. Washil pun menyanggah pernyataan Hasan Al-Basri. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar dinyatakan keluar dari Islam, namun tidak mutlak menjadi kafir. Disebabkan kekecewaan itulah, Washil akhirnya memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasan Al-Basri. Ia membuat kelompok pengajian sendiri, namun berada pada masjid yang sama dengan kelompok pengajian Hasan Al-Basri. Orang-orang yang merasa cocok dengan pemikiran Washil, kemudian mereka ikut bergabung dengannya. Maka sejak saat itulah, muncul gerakan mu’tazilah. Metode berpikir mereka sangat dipengaruhi filsafat Yunani, sehingga mereka menafsirkan permasalahan akidah dengan menggunakan akal (Asy Syak’ah, 1995).

Gerakan pemikiran Islam lainnya, yaitu sufi, menurut Asy Syak’ah (1995) muncul dari kalangan orang-orang yang dikenal sebagai ahli zuhud, menjauhi kemewahan dunia, serta selalu merasa puas dengan keterbatasan dalam mencari nafkah untuk kehidupan duniawinya. Kata sufi biasanya terkait dengan orang-orang yang senang mengenakan pakaian wol. Pakaian wol dianggap sebagai lambang kesederhanan dan kerendahhatian. Beberapa kritik ulama terhadap kalangan sufi diarahkan pada kecenderungan mereka yang terlalu menyibukkan diri pada urusan rohani sehingga mereka seringkali melalaikan urusan duniawi.

Orang yang pertama kali dikenal sebagai sufi adalah Abu Hasyim Ash-Shufi. Namun ada juga pendapat yang menyatakan bahwa orang pertama yang mendapat julukan Ash-Shufi ialah Abduka Ash-Shufi yang wafat tahun 210 Hijriah (825/826 Masehi). Sementara itu, Jabir bin Hayyan yang wafat pada 200 Hijriah (815/816 Masehi) juga dijuluki sebagai Ash-Shufi. Dengan demikian istilah sufi diperkirakan telah ada pada pertengahan abad kedua Hijriah (Asy Syak’ah, 1995). Ihsan Ilahi Dhahir (2008) menyebutkan paling tidak ada empat aliran besar dalam kelompok sufi. Ar-Rifa’iyah merupakan aliran sufi yang bersumber dari ajaran Abu Al-Abbas Ahmad bin Abu Al-Husein Ar-Rifa’i (1118-1181). Sedangkan aliran sufi At-Tijaniyah, maka paham aliran ini berasal dari pemikiran yang dikembangkan oleh Abu Al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Al-Mukhtar At-Tijani (wafat 1815). Kemudian Asy-Syadziliyah, merupakan aliran sufi yang awal kemunculannya berasal dari daerah bernama Syadziliyah. Pendiri aliran ini ialah Abu Al-Hasan Ali bin Abdullah yang lahir pada 1197. Sedangkan aliran sufi Al-Qadiriyah, paham aliran ini berasal dari ajaran syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Ia lahir pada 1077 di Kailan, Baghdad.

Abu Zahrah (1996) menjelaskan bahwa salafi merupakan orang-orang yang mengidentifikasikan pemikiran mereka dengan pemikiran salaf. Mereka muncul pada abad ke-4 Hijriah. Pemikiran mereka berasal dari paham Ahmad bin Hambal yang dianggap sebagai imam yang menjaga kemurnian akidah salaf. Asy Syak’ah (1995) berpendapat bahwa keinginan salafi kembali merujuk pada Al-Qur’an dan hadis akibat keberadaan berbagai pendapat yang menafsirkan akidah dengan mengedepankan akal dan filsafat, terutama yang dipelopori oleh kalangan mu’tazilah. Muncul perdebatan antar beberapa kelompok Islam dalam memahami akidah. Kalangan asy’ariyah yang dipelopori Abu Hasan bin Ali bin Ismail Al-Asy’ari (wafat 935) mengembangkan pendekatan akal dalam memahami akidah guna menghadapi mu’tazilah.

Bakar (2002) menyatakan bahwa kalangan asy’ariyah mengembangkan pendekatan akal karena mereka menganggap hal tersebut diperlukan untuk membela akidah salaf yang sering diserang oleh gerakan-gerakan pemikiran menyimpang yang juga mengedepankan akal dalam memahami akidah. Asy’ariyah memandang kalangan salaf yang membatasi pada Al-Qur’an dan hadis dalam memahami akidah merupakan bentuk kehati-hatian, sedangkan pendekatan akal yang mereka (asy’ariyah) gunakan dalam memahami akidah dinilai lebih ilmiah. Namun pendekatan akal yang dikembangkan asy’ariyah tidak mendapat sambutan baik dari para pengikut Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah). Hanabilah menilai asy’ariyah sebagai kelompok yang membawa pola pemikiran yang baru (khalaf; yang muncul belakangan). Maka muncullah istilah salaf yang digunakan kalangan Hanabilah untuk membedakannya dengan pemikiran para khalaf.
Dakwah salafiyah mengalami perkembangan pesat abad ke-13, yaitu pada masa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Setelah itu, pada abad ke-18 muncul paham serupa yang disebarluaskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (Abu Zahrah, 1996). Paham salafiyah memandang bahwa iman mencakup perkataan, perbuatan, serta keyakinan. Pelaku dosa besar tidaklah keluar dari Islam, namun dosa mempengaruhi keadaan imannya. Dosa menjadikan imannya menurun, sedangkan amal soleh akan menaikkan derajat keimanannya. Dalam masalah takdir, paham ini beranggapan bahwa manusia diciptakan Allah SWT disertai dengan perbuatannya. Setiap individu memiliki kehendak dan perbuatan, sehingga ia dapat berusaha sesuai dengan keinginannya. Ia juga memiliki akal yang menjadikannya mampu membedakan antara baik dengan yang buruk. Namun kehendak manusia itu mengikuti kehendak Allah SWT. Segala yang dikehendaki-Nya pasti terjadi, dan segala hal yang tidak di kehendaki-Nya tidak akan terjadi. Selain itu, dalam perhormatan terhadap ahlul bait, paham salafiyah juga mencintai dan menghormati kedudukan ahlul bait (keluarga dan keturunan Nabi Muhammad) (Al-Atsari, 2007).

Aceh (1986) menyebutkan pokok-pokok agama yang merupakan keyakinan salaf, di antaranya berkeyakinan bahwa Tuhan itu adalah satu, Muhammad merupakan utusan-Nya, meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan Jibril dalam bahasa Arab serta mengimani bahwa Allah SWT dapat dilihat di akhirat kelak, mengakui adanya hari kiamat, adanya hari kebangkitan setelah kematian, serta meyakini adanya surga dan neraka. Mereka juga mengimani nama dan sifat Allah SWT, tidak menyerupakan sifat dan nama-Nya dengan makhluk-Nya, dan menafsirkan maknanya sesuai yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun sunnah Nabi Muhammad SAW.

Kepustakaan :
Abu al-Louz, Abd al-Hakim. tt. New Salafist Dogmas: Strict Beliefs and Cultural Limitsse1.isn.ch/serviceengine/Files/ISN/.../en/Chapter+4.pdf
Abu Zaid, Bakr bin Abdullah. 2008. Jangan Nodai Tanah Arab terjemah: Muhammad Muhtadi. Solo: Multazam
Abu Zahrah, Imam Muhammad. 1996. Aliran Politik dan Akidah Dalam Islam terjemah: Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta Selatan: Logos
Aceh, Abubakar. 1986. Salaf: Islam Dalam Masa Murni. Solo: Ramadhani
Al-Wakil, Muhammad Sayyid. 2005. Wajah Dunia Islam terjemah: Fadhdli Bahri. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar
Asy Syak’ah, Mustofa Muhammad. 1995. Islam Tidak Bermazhab terjemah: A.M. Basamalah. Jakarta: Gema Insani Press
Al-Atsari, Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari. 2007. Intisari Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terjemah: Farid bin Muhammad Al-Bathathy. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i
Black, Antony. 2006. Pemikiran Politik Islam terjemah: Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati. Jakarta: Serambi
Blanchard, Christopher M. 2008. The Islamic Traditions of Wahhabism and Salafiyyawww.fas.org/sgp/crs/misc/RS21695.pdf
Hasan, Noorhaidi. 2006. Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Indentity in Post-New Order Indonesia. New York: Cornell Southeast Asia Program Publications
____, _____. 2007. Islamic Militancy, Sharia, and Democratic Consolidation in-post Suharto Indonesia. Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies
____, _____. 2002. Faith and Politics: The Rise of Laskar Jihad in The Era of Transition in Indonesia. http://cip.cornell.edu/DPubS?service=UI&version=1.0&verb=Display&handle=seap.indo/1106940156
Dhahir, Ihsan Ilahi. 2008. Darah Hitam Tasawuf: Studi Kritis Kaum Sufi terjemah: Fadhli Bahri: Darul Falah


Subscribe your email address now to get the latest articles from us

No comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2015. Tapis Jakarta.
Design by Herdiansyah Hamzah - Distributed By Blogger Templates
Creative Commons License