Metode penafsiran yang paling baik shahih adalah penafsiran
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Ayat yang di-mujmal-kan pada suatu tempat akan
dibeberkan di tempat yang lain. Apabila metode ini tidak dapat Anda lakukan,
maka tafsirkanlah dengan As-Sunnah karena ia merupakan penjelasan bagi
Al-Qur’an. As-Syafi’I berkata, “Semua perkara yang ditetapkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan bagian dari apa yang dipahaminya dari
Al-Qur’an.”
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu menetapkan hukum di antara
manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang
yang khianat.” (QS. An-Nisa’: 105)Oleh
karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketahuilah,
sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan sesuatu yang serupa dengannya (yaitu
As-Sunnah).”
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Apabila Anda tidak dapat menafsirkan Al-Qur’an dengan Sunnah,
maka merujuklah kepada pendapat para sahabat. Mereka lebih mengetahui hal itu
sebab mereka melihat fakta dan kondisi kejadian Sunnah. Mereka memiliki
pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal shaleh.
Al-A’masy berkata, dari Abi Wail, dari Ibnu Mas’ud, dia berkata,
“Apabila seseorang di antara kami mempelajari sepuluh ayat, maka dia tidak akan
melanjutkannya sebelum memahami seluruh makna dan mengamalkannya.” Demikianlah
para sahabat, mereka tidak berpindah kepada ayat lain sebelum mereka memahami
dan mengamalkan ayat yang sebelumnya.
Di antara mereka terdapat “penafsir Al-Qur’an” seperti Abdullah
bin Abbas, yaitu putra paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sesungguhnya Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mendoakan Ibnu
Abbas. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ya Allah, pahamkanlah ia
dalam agama dan ajarilah penakwilan.”
Apabila Anda tidak menemukan penafsiran Al-Qur’an di dalam
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan pendapat para sahabat, maka carilah penafsiran itu di
dalam pendapat para tabi’in, seperti Mujahid bin Jabir, Said ibnu Jubeir,
Ikrimah (budak Ibnu Abbas), Atha’ bin Abi Rabah, Hasan Bashri, Said ibnul
Musayyab, Ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, dan para tabi’in lainnya serta pengikut
mereka. Apabila para sahabat itu bersepakat, maka penafsiran mereka merupakan
hujjah. Akan tetapi, apabila mereka ber-ikhtilaf, maka menurut sebagian
pendapat, bukan merupakan hujjah.
Adapun penafsiran Al-Qur’an hanya dengan penalaran semata, maka
hal tersebut haram. Hal ini berdasarkan keterangan yang diriwayatkan oleh
Muhammad bin Jarir dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang berbicara tentang
Al-Qur’an berdasarkan penalarannya atau berdasarkan sesuatu yang tidak
diketahui, maka siaplah untuk menempati neraka.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi,
An-Nasa’i)
Oleh karena itu, sekelompok ulama salaf berkeberatan menafsirkan
sesuatu yang tidak diketahuinya. Hal itu sebagaimana diriwayatkan oleh Syu’bah
dengan sanadnya dari Abu Bakar Ash-Shiddiq bahwa ia berkata, “Bumi manakah yang
akan menyanggaku dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan
sesuatu yang tidak aku ketahui tentang kitabullah.”
Adapun orang yang berbicara, baik secara lughawi maupun syara’,
berdasarkan pengetahuannya dari Kitab Allah, maka hal itu tidak apa-apa.
Keberatan para ulama salaf tersebut harus diartikan sebagai penafsiran tanpa
pengetahuan mengenai Kitab Allah. Abu Ubaid berkata melalui sanadnya dari
Masruq, dia berkata, “Waspadalah dalam penafsiran karena ia merupakan penuturan
tentang Allah.” Mayoritas kaum salaf berpandangan demikian.
Telah diriwayatkan mengenai kegiatan para ulama salaf.
Penafsiran merupakan kewajiban bagi setiap individu. Akan tetapi, dia pun wajib
dia mengenal penafsiran yang tidak diketahuinya. Individu pun wajib menjawab
penafsiran yang ditanyakan jika hal itu diketahuinya, sebab Allah Ta’ala
berfirman, “Agar kamu menjelaskannya kepada manusia dan kamu tidak boleh
menyembunyikannya.” Juga karena ada keterangan dalam hadits, “Barangsiapa
ditanya tentang ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka pada hari Kiamat dia akan
dipasangi kendali dari api.”
Sumber:
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i. 2004. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir
Jilid 1 terjemah Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press
No comments:
Post a Comment