Di dalam ayat yang mulia ini, Allah menegaskan bahwa agama Islam
merupakan agama yang sempurna dan lengkap. Oleh karena itu, agama ini tidak
memerlukan sedikit pun tambahan ataupun pengurangan, apapun bentuknya.
Imam
Malik memperingatkan bahaya bagi seseorang yang membuat-buat ajaran baru dalam
agama (bid’ah). Beliau rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang membuat bid’ah
di dalam Islam yang mana ia menganggap sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik
red─), maka sesungguhnya ia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
telah berkhianat di dalam (menyampaikan) risalah, karena sesungguhnya Allah
telah berfirman, ‘Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagimu agamamu.’ Maka
apa-apa yang tidak menjadi agama pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi
agama pada hari ini.” (Al-I’tisham, Imam Asy Syathibi juz I hal. 49 di dalam
Risalah Bid’ah, bin Amir Abdat)
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Pengertian
Bid’ah
Bid’ah menurut bahasa berarti sesuatu yang baru tanpa adanya
contoh sebelumnya.
Bid’ah dinamakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai
muhdats, yaitu sesuatu yang baru di dalam agama yang tidak pernah disyariatkan
oleh Allah dan rasul-Nya. Atau suatu cara yang diadakan/dibuat oleh orang di
dalam agama Islam yang menyerupai syari’at untuk tujuan beribadah kepada Allah.
Bid’ah merupakan amalan yang terbatas pada masalah ibadah.
Ibadah didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh
Allah baik perkataan atau perbuatan, lahir maupun batin.
Jenis-Jenis Bid’ah
Bid’ah dalam agama ada dua macam:
Pertama, bid’ah qauliyah i’tiqadiyah (bid’ah yang
bersifat pemikiran dan keyakinan). Misal, pemikiran sesat kelompok qadariyyah
(suatu keyakinan bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan yang akan dilakukan
makhluk-Nya).
Kedua, bid’ah dalam masalah ibadah. Bentuk-bentuk bid’ah jenis ini
antara lain:
Pertama, bid’ah yang terjadi pada asal-usul ibadah. Misal,
membuat ibadah yang tidak ada landasan syari’at seperti perayaan-perayaan yang
tidak disyari’atkan. Contohnya maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kedua, bid’ah berupa penambahan terhadap ibadah yang
disyari’atkan. Misal, menambah raka’at pada shalat Dzuhur menjadi lima raka’at.
Ketiga, bid’ah dalam tata cara pelaksanaan ibadah, yaitu
melaksanakan tata cara ibadah dengan cara yang tidak sesuai dengan syari’at.
Misal, membaca dzikir secara bersama-sama.
Keempat, bid’ah dalam pengkhususan waktu tertentu untuk
melaksanakan ibadah, sementara syari’at Islam sebenarnya tidak mengkhususkan
waktu tersebut. Misal, puasa nishfu sya’ban (puasa pertengahan bulan Sya’ban).
Imam Al-Albani menerangkan dalam kitabnya Ahkamul
Janaa-iz tentang cara mengenal bid’ah, yaitu:
Pertama, segala sesuatu yang menyalahi sunnah, baik
perkataan, perbuatan, atau keyakinan meskipun keluar dari hasil ijtihad.
Adakalanya bid’ah itu timbul atau keluar dari hasil ijtihad yang
keliru dari sebagian ulama, meskipun ulama tersebut tidak disebut sebagai
pembuat bid’ah. Mereka bahkan memperoleh satu ganjaran karena hasil ijtihadnya,
walaupun salah. Kesalahan ijtihad tersebut tidak boleh diikuti oleh kaum
muslimin.
Kedua, Setiap urusan yang dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada
Allah, padahal telah datang larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Misal, orang yang berpuasa sepanjang masa (terus menerus), dan
yang mengkhususkan hari Jum’at untuk berpuasa.
Ketiga, setiap urusan yang tidak mungkin disyari’atkan kecuali dengan
nash (dalil) atau keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika nash
tidak ada, maka itulah bid’ah kecuali jika datang keterangan dari sahabat dan
dikerjakan berulang kali, serta tidak ada yang mengingkari dari sahabat
lainnya.
Keempat, memasukkan adat-adat kaum kuffar di dalam
ibadah kaum muslimin
Kelima, setiap ibadah yang disukai oleh sebagian ulama mutaakhirin,
padahal tidak berdasar dalil.
Keenam, ibadah yang berlandaskan pada dalil hadits dha’if (lemah) atau
maudhu’ (palsu)
Ketujuh, ghuluw (berlebihan) di dalam beribadah.
Kedelapan, setiap ibadah yang dimutlakkan oleh agama,
kemudian manusia mengaitkannya dengan beberapa kaitan seperti tempat, waktu,
sifat, atau bilangan.
Hukum Bid’ah
Setiap bid’ah dalam agama hukumnya haram dan sesat. Hal ini
berdasar pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jauhilah oleh
kalian perkara-perkara baru yang diada-adakan, sesungguhnya setiap perkara baru
(yang diada-adakan) itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.
Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).
Dalam riwayat yang lain, “Barangsiapa melakukan amalan yang
tidak ada padanya (dasarnya dalam) urusan (agama) kami, maka dia tertolak.”
(HR. Muslim)
Barangsiapa yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik)
dan bid’ah sayyi’ah (buruk), maka ia telah melakukan kekeliruan dan menyalahi
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya setiap bid’ah itu
adalah sesat.”
Penyebab Timbulnya Bid’ah
x. Kebodohan terhadap hukum agama
Seiring perjalanan waktu dari masa ke masa, manusia semakin jauh
dari ajaran-ajaran Islam sehingga ilmu akan semakin sedikit dan kebodohan pun
merajalela. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa
hidup (sesudahku nanti), niscaya akan melihat perselisihan yang amat banyak.”
(HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Bid’ah hanya bisa diberantas dengan ilmu dan keberadaan ulama.
Jika ilmu dan ulama semakin sedikit, maka kesempatan emas bagi para pelaku
bid’ah untuk menyebarluaskan ajaran bid’ah dengan leluasa.
x. Mengikuti hawa nafsu
Barangsiapa berpaling dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka pasti ia
akan menuruti hawa nafsunya. Allah Ta’ala berfirman, “Maka jika mereka tidak
menyambut (seruan)mu, ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa
nafsu mereka (belaka). Dan siapakah orang yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun.”
(QS. Al-Qashash: 50)
x. Fanatisme terhadap pendapat tokoh tertentu
x. Meniru orang-orang kafir dalam hal keyakinan dan ibadah
(misal, meniru perayaan hari besar non-Islam. Untuk memperingati kelahiran
Yesus, Nasrani merayakan Natal. Sementara sebagian kaum muslimin meniru-niru
memperingati kelahiran Rasulullah dengan merayakan maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.)
Sumber:
bin Amir Abdat, Abdul Hakim. 2006. Risalah Bid’ah.
Jakarta: Penerbit Pustaka Abdullah Jakarta
bin Abdullah Al-Mathar, Hammud. 2006. Ensiklopedia
Bid’ah terjemah Amir Hamzah, Kholif Muttaqien, Fuad Ahmadi. Jakarta:
Darul Haq
Ibnu Taimiyah. 2006. Membedah Firqoh-Firqoh Sesat terjemah
Hawin Murtadlo. Solo: Al-Qowam
Imam Hasan Al-Basri berkata, “Setiap hari yang bersih dari
maksiat kepada Allah adalah ‘Ied (hari raya). Setiap hari yang dihabiskan oleh
seorang mukmin dalam ketaatan, berdzikir, dan bersyukur kepada Allah adalah
‘Ied baginya.” (Lathoiful Ma’arif, Ibnu Rajab hal. 317)
No comments:
Post a Comment