Syaikh Nuruddin Bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Humaid Ar
Raniry adalah tokoh Islam yang lahir di Ranir (Rander), suatu bandar yang tidak
jauh dari Gujarat, India. Beliau hidup antara tahun 1600 sampai 1658 M. Ia
merupakan keturunan Quraisy dari Bani Humaid yang bermukim di Hadramaut yang
bernama Hasan.
Nuruddin Ar-Raniry lahir pada abad ke 10 H atau 16 M di
Ranir wilayah Surat, Gujarat, pantai Barat India. Ayahnya Ali Ar-Raniri dan
ibunya asli orang Melayu. Daerah asal Al-Raniri, sebagaimana layaknya kota-kota
pelabuhan yang lain, sangat ramai dikunjungi para pendatang (imigran) dari
berbagai penjuru dunia. Ada yang berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia
Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama mereka untuk melakukan aktivitas
perdagangan dan mencari sumber-sumber ekonomi baru.
(Baca juga: koleksi kain tenun tapis terpopuler)
Disamping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan
ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
Dari Ranir pula, mereka kemudian berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan
lain di Semenanjung Melayu dan Hindia untuk keperluan yang sama. Jadilah orang
Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat
yang lain.
Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi
pada keluarga besar Al-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad
Al-Jilani bin Hasan Muhammad Al-Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583) untuk
berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama, seperti fikih, ushul fikih,
etika, manthiq, dan retorika. Kebanyakan dari mereka (perantau) biasanya menetap
di kota-kota pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah kepulauan
Melayu-Indonesia.
Ar-Raniry sangat fasih bercakap dan menulis dalam bahasa
Melayu dan tinggal di Aceh dari tahun 1637-1644 M. Pada mulanya ia mempelajari
ilmu-ilmu keagamaan di Ranir. Untuk menambah ilmunya ia kemudian merantau ke
negeri-negeri Arab, diantaranya
Hadramaut, Mekah, dan Madinah.
Di tanah Arab, ia pernah berguru kepada Abu Hafas Saiyid
Umar bin Abdullah bin Syaiban dari Terim. Selama di Ranir dan di Arab, ia juga
mempelajari bahasa Melayu, yang waktu itu sangat penting sebagai bahasa
penghubung di kepulauan nusantara, sehingga ketika ia hijrah ke tanah Melayu
dan Aceh, ia sudah fasih berbahasa Melayu.
Pada tahun 1618 M, merantau ke Aceh Darussalam yang waktu
itu menjadi pusat ilmu dan pusat perdagangan. Dan tempat yang pertama kali ia
singgahi adalah semenanjung Malaya, waktu itu berada dalam kekuasaan Aceh
Darussalam. Ia lama bermukim di Malaka dan Pahang, kemudian tahun 1630 ia
pindah ke Aceh, pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).
Di Aceh Darussalam ini ia dipercaya untuk mengajari
anak-anak raja, diantaranya puteri Safiah dan putera Husein bin Sultan Ahmad
dari tanah Melayu. Disamping itu, ia juga menjadi guru besar pada lembaga
pendidikan Baiturrahman.
Ar-Raniry meninggalkan Aceh pada penghujung pemerintahan
Iskandar Muda. Diperkirakan kepergiannya karena perbedaan dengan Syamsuddin
Sumatrani tentang wihdatul wujud, karena ia termasuk yang menentangnya.
Setahun setelah meninggalnya Sultan Iskandar Muda, ia kembali
ke Aceh Darussalam yang pada waktu itu diperintah oleh bekas muridnya, Sultan
Iskandar Sani. Ar-Raniry sampai di Aceh 6 Muharam 1047 H/31 Mei 1637 M dan
diangkat menjadi Qadli Malikul Adil yang 1 tahun kosong setelah Syamsuddin
Sumatrani meninggal dunia pada akhir pemerintahan Iskandar Muda.
Setelah Iskandar Sani meninggal dan digantikan istrinya
Sultanah Safiatudin, ia tetap dipercaya menjadi Qadli Malikul Adil, disamping
menjadi guru besar Baiturrahman.
Dengan naiknya Iskandar Tsani dan Sultanah Safiatuddin,
Ar-Raniry mendapat dukungan, sehingga ia bisa bertindak keras terhadap
pendukung paham wihdatul wujud. Banyak buku Hamzah Fansury dan Syamsuddin Pase
yang dirusak dan dibakar, dan para pengikutnya dikejar-kejar sehingga
menimbulkan perang saudara yang melumpuhkan Aceh. Mulai saat itulah dapat
dikatakan tamatlah riwayat paham wihdatul wujud dikalangan tasawuf dari bumi
Sumatra.
Nuruddin Ar-Raniry adalah ulama terkemuka, ahli fikih yang
dikenal dengan puluhan karya intelektualnya yang dituangkan dalam berbagai
buku. Salah satu bukunya yang sangat terkenal adalah As-Sirat Al-Mustaqim
(jalan lurus). Buku ini membicarakan berbagai masalah ibadah, antara lain
shalat, puasa, dan zakat.
Ar-Raniry juga dikenal sebagai ulama yang berjasa dalam
menyebarluaskan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara. Karya-karyanya ini
membuat bahasa Melayu semakin popular dan tersebar luas sebagai lingua franca
serta menjadi bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab.
Hasil karya tulisnya sangatlah banyak, baik adalam bahasa
Arab maupun bahasa Melayu. Diantara karangan yang terkenal adalah Ash-Shiratul
Mustaqim, kitab tentang fikih; Duraru Faraidh bi Syahril Zikril Auwalin
Akhirin, sebuah kitab tentang sejarah Kerajaan Islam Melayu; Akhbarul Akhirah
Fi Auwali Yaumil Qiyamah, membahas Hari Kebangkitan; Hidayatul Habib Fit
Targhib wa Tarhib, menguraikan masalah akhlak; At-Tibyan fi Ma’rifatil Adyan,
menguraikan tentang aliran agama; dan Asrarul Insan Fi Ma’rifatil Ruhi wa
Rahman, membahas ruh dan ketuhanan.
Jaringan Ulama
Jejak intelektual Al-Raniry sendiri dimulai saat melakukan
perjalanan dengan belajar ilmu agama di tanah kelahirannya (Ranir), sebelum
berkelana ke Tarim, Hadramaut, Arab Selatan yang ketika itu menjadi pusat studi
agama Islam. Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Mekah dan Madinah untuk
menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam nabi. Di tanah haram inilah
Ar-Raniry menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah
menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan berasal dari wilayah nusantara.
Dalam kapasitas seperti ini, Ar-Raniry sudah dapat
dikategorikan telah menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu, khususnya
dalam hal komunikasi intelektual Islam. Jalinan hubungan inilah yang menjadi
awal mula bagi perjalanan intelektual Islam Ar-Raniry di kemudian hari.
Dalam perkembangannya, ia juga merupakan seorang syekh
tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai. Ia belajar ilmu tarekat ini
melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syekh Said Abu Hafs Umar bin Abdullah
atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al-Aydrus.
Pada abad ke 17, di Kerajaan Aceh terdapat empat ulama besar
silih berganti, yaitu Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin As-Sumatrani,
keduanya merupakan tokoh ahli tasawuf yang beraliran wihdatul wujud.
Ulama ketiga di Aceh, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, sangat
menentang ajaran Hamzah dan muridnya. Kemudian keempat yaitu Abdur Rouf
As-Sinkili yang nantinya berusaha mengambil jalan tengah pertentangan antara pengikut Nuruddin dengan kedua
pengikut ulama sebelumnya.
Pada tahun 1068 H/ 1657 M, ia meninggalkan Aceh dan kembali
ke tanah airnya. Ia meninggal di daerahnya 22 Zulhijah 1069 H/ 21 September
1658 M.
Sumber:
Pic: http://4.bp.blogspot.com/
Pic: http://4.bp.blogspot.com/
Jurnal Halal No. 107 Mei-Juni Th. XVII 2014
No comments:
Post a Comment