Pages

Mengenal Sosok Kharismatik Ar-Raniry

Friday, December 11, 2015

Syaikh Nuruddin Bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Humaid Ar Raniry adalah tokoh Islam yang lahir di Ranir (Rander), suatu bandar yang tidak jauh dari Gujarat, India. Beliau hidup antara tahun 1600 sampai 1658 M. Ia merupakan keturunan Quraisy dari Bani Humaid yang bermukim di Hadramaut yang bernama Hasan.

Nuruddin Ar-Raniry lahir pada abad ke 10 H atau 16 M di Ranir wilayah Surat, Gujarat, pantai Barat India. Ayahnya Ali Ar-Raniri dan ibunya asli orang Melayu. Daerah asal Al-Raniri, sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain, sangat ramai dikunjungi para pendatang (imigran) dari berbagai penjuru dunia. Ada yang berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama mereka untuk melakukan aktivitas perdagangan dan mencari sumber-sumber ekonomi baru.


Disamping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Dari Ranir pula, mereka kemudian berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Melayu dan Hindia untuk keperluan yang sama. Jadilah orang Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang lain.

Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Al-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-Jilani bin Hasan Muhammad Al-Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583) untuk berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama, seperti fikih, ushul fikih, etika, manthiq, dan retorika. Kebanyakan dari mereka (perantau) biasanya menetap di kota-kota pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah kepulauan Melayu-Indonesia.

Ar-Raniry sangat fasih bercakap dan menulis dalam bahasa Melayu dan tinggal di Aceh dari tahun 1637-1644 M. Pada mulanya ia mempelajari ilmu-ilmu keagamaan di Ranir. Untuk menambah ilmunya ia kemudian merantau ke negeri-negeri Arab, diantaranya  Hadramaut, Mekah, dan Madinah.

Di tanah Arab, ia pernah berguru kepada Abu Hafas Saiyid Umar bin Abdullah bin Syaiban dari Terim. Selama di Ranir dan di Arab, ia juga mempelajari bahasa Melayu, yang waktu itu sangat penting sebagai bahasa penghubung di kepulauan nusantara, sehingga ketika ia hijrah ke tanah Melayu dan Aceh, ia sudah fasih berbahasa Melayu.

Pada tahun 1618 M, merantau ke Aceh Darussalam yang waktu itu menjadi pusat ilmu dan pusat perdagangan. Dan tempat yang pertama kali ia singgahi adalah semenanjung Malaya, waktu itu berada dalam kekuasaan Aceh Darussalam. Ia lama bermukim di Malaka dan Pahang, kemudian tahun 1630 ia pindah ke Aceh, pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).

Di Aceh Darussalam ini ia dipercaya untuk mengajari anak-anak raja, diantaranya puteri Safiah dan putera Husein bin Sultan Ahmad dari tanah Melayu. Disamping itu, ia juga menjadi guru besar pada lembaga pendidikan Baiturrahman.

Ar-Raniry meninggalkan Aceh pada penghujung pemerintahan Iskandar Muda. Diperkirakan kepergiannya karena perbedaan dengan Syamsuddin Sumatrani tentang wihdatul wujud, karena ia termasuk yang menentangnya.

Setahun setelah meninggalnya Sultan Iskandar Muda, ia kembali ke Aceh Darussalam yang pada waktu itu diperintah oleh bekas muridnya, Sultan Iskandar Sani. Ar-Raniry sampai di Aceh 6 Muharam 1047 H/31 Mei 1637 M dan diangkat menjadi Qadli Malikul Adil yang 1 tahun kosong setelah Syamsuddin Sumatrani meninggal dunia pada akhir pemerintahan Iskandar Muda.

Setelah Iskandar Sani meninggal dan digantikan istrinya Sultanah Safiatudin, ia tetap dipercaya menjadi Qadli Malikul Adil, disamping menjadi guru besar Baiturrahman.

Dengan naiknya Iskandar Tsani dan Sultanah Safiatuddin, Ar-Raniry mendapat dukungan, sehingga ia bisa bertindak keras terhadap pendukung paham wihdatul wujud. Banyak buku Hamzah Fansury dan Syamsuddin Pase yang dirusak dan dibakar, dan para pengikutnya dikejar-kejar sehingga menimbulkan perang saudara yang melumpuhkan Aceh. Mulai saat itulah dapat dikatakan tamatlah riwayat paham wihdatul wujud dikalangan tasawuf dari bumi Sumatra.

Nuruddin Ar-Raniry adalah ulama terkemuka, ahli fikih yang dikenal dengan puluhan karya intelektualnya yang dituangkan dalam berbagai buku. Salah satu bukunya yang sangat terkenal adalah As-Sirat Al-Mustaqim (jalan lurus). Buku ini membicarakan berbagai masalah ibadah, antara lain shalat, puasa, dan zakat.

Ar-Raniry juga dikenal sebagai ulama yang berjasa dalam menyebarluaskan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara. Karya-karyanya ini membuat bahasa Melayu semakin popular dan tersebar luas sebagai lingua franca serta menjadi bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab.

Hasil karya tulisnya sangatlah banyak, baik adalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu. Diantara karangan yang terkenal adalah Ash-Shiratul Mustaqim, kitab tentang fikih; Duraru Faraidh bi Syahril Zikril Auwalin Akhirin, sebuah kitab tentang sejarah Kerajaan Islam Melayu; Akhbarul Akhirah Fi Auwali Yaumil Qiyamah, membahas Hari Kebangkitan; Hidayatul Habib Fit Targhib wa Tarhib, menguraikan masalah akhlak; At-Tibyan fi Ma’rifatil Adyan, menguraikan tentang aliran agama; dan Asrarul Insan Fi Ma’rifatil Ruhi wa Rahman, membahas ruh dan ketuhanan.


Jaringan Ulama

Jejak intelektual Al-Raniry sendiri dimulai saat melakukan perjalanan dengan belajar ilmu agama di tanah kelahirannya (Ranir), sebelum berkelana ke Tarim, Hadramaut, Arab Selatan yang ketika itu menjadi pusat studi agama Islam. Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Mekah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam nabi. Di tanah haram inilah Ar-Raniry menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan berasal dari wilayah nusantara.

Dalam kapasitas seperti ini, Ar-Raniry sudah dapat dikategorikan telah menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu, khususnya dalam hal komunikasi intelektual Islam. Jalinan hubungan inilah yang menjadi awal mula bagi perjalanan intelektual Islam Ar-Raniry di kemudian hari.

Dalam perkembangannya, ia juga merupakan seorang syekh tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai. Ia belajar ilmu tarekat ini melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syekh Said Abu Hafs Umar bin Abdullah atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al-Aydrus.
Pada abad ke 17, di Kerajaan Aceh terdapat empat ulama besar silih berganti, yaitu Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin As-Sumatrani, keduanya merupakan tokoh ahli tasawuf yang beraliran wihdatul wujud.

Ulama ketiga di Aceh, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, sangat menentang ajaran Hamzah dan muridnya. Kemudian keempat yaitu Abdur Rouf As-Sinkili yang nantinya berusaha mengambil jalan tengah pertentangan  antara pengikut Nuruddin dengan kedua pengikut ulama sebelumnya.

Pada tahun 1068 H/ 1657 M, ia meninggalkan Aceh dan kembali ke tanah airnya. Ia meninggal di daerahnya 22 Zulhijah 1069 H/ 21 September 1658 M.

Sumber:
Pic: http://4.bp.blogspot.com/
Jurnal Halal No. 107 Mei-Juni Th. XVII 2014

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

No comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2015. Tapis Jakarta.
Design by Herdiansyah Hamzah - Distributed By Blogger Templates
Creative Commons License