Apabila kita
memperhatikan kehidupan kita dari berbagai sisinya –baik dari segi material
maupun spiritual, pemikiran, social, ekonomi, politik, maupun aspek lainnya-
maka kita akan menemukan bahwa timbangan prioritas pada umat sudah tidak
seimbang lagi.
Kita dapat menemukan di setiap Negara Arab dan Islam berbagai
perbedaan yang sangat mencolok, yaitu perkara-perkara yang berkenaan dengan
dunia seni dan hiburan senantiasa diprioritaskan dan didahulukan atas persoalan
yang menyangkut ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dalam aktivitas pemuda
misalnya, kita menemukan bahwa perhatian terhadap olahraga jauh lebih
diutamakan daripada olah akal pikiran, sehingga makna pembinaan remaja lebih
dititikberatkan pada pembinaan sisi jasmaniah daripada sisi ruhaniahnya.
Dalam
persoalan lain seperti permasalahan fiqih misalnya, seringkali terjadi
penyimpangan yang terjadi tidak hanya dikalangan kaum muslimin yang awam, namun
juga terjadi pada orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada agama ini.
Seringkali kita menyaksikan orang-orang seperti ini –walaupun sebenarnya mereka
termasuk orang-orang yang memiliki keikhlasan- menyibukkan diri dengan
perbuatan yang tidak kuat (marjuh), dan mereka menganggapnya sebagai
amalan yang kuat (rajih). Mereka sibuk dengan perbuatan yang tidak utama
(mafdhul), serta melalaikan perbuatan yang utama (fadhil).
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Seringkali, suatu perbuatan itu pada suatu masa dinilai sebagai
perbuatan yang utama, tetapi pada masa yang lain ia tidak lagi menjadi amalan
yang utama; atau pada suatu situasi, amalan itu bisa dinilai kuat, sedangkan
pada situasi yang lain amalan tersebut tidak lagi bisa diterima. Namun karena
sempitnya pengetahuan, maka banyak manusia yang tidak mampu membedakan antara
dua suasana atau situasi yang berbeda tersebut. Oleh karenanya, sebagian kaum
muslimin saat ini seringkali terjebak dalam suatu perbuatan:
Pertama, mereka tidak mengindahkan amalan
fardhu-fardhu kifayah yang berkaitan dengan umat secara menyeluruh seperti
peningkatan kualitas ilmu pengetahuan, perindustrian, kepiawaian militer yang
menjadikan umat bisa mandiri.
Kedua, mereka juga sering mengabaikan sebagian fardhu ‘ain.
Kalaupun mereka melaksanakannya, itu pun dikerjakan dengan tidak sempurna,
seperti kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, yang mana amalan ini
sangat utama disebabkan Islam sendiri menyebutnya lebih dahulu sebelum menyebut
persoalan shalat maupun zakat ketika Islam menjelaskan tentang ciri-ciri
masyarakat beriman., “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, mendirikan
shalat, menunaikan zakat….” (QS. At-Taubah: 71).
Ketiga, perhatian mereka lebih banyak terpusat pada sebagian rukun
Islam dibandingkan pada perhatian terhadap rukun Islam yang lain. Ada di antara
mereka yang lebih banyak memperhatikan persoalan puasa lebih banyak
dibandingkan perhatiannya terhadap shalat. Disamping itu juga, ada sebagian
orang yang lebih banyak memusatkan perhatiannya pada permasalahan shalat
daripada zakat.
Keempat, mereka lebih banyak memperhatikan persoalan
sunnah daripada amalan wajib. Hal ini sebagaimana banyak terjadi pada pemuka
agama ini yang lebih sibuk memperbanyak zikir, tasbih, atau wirid, akan tetapi
mereka melupakan kewajiban seperti berbakti pada orang tua, silaturahmi,
bertetangga yang baik, mengasihi orang lemah, memelihara anak yatim,
menyingkirkan kemunkaran, serta menyingkirkan kezaliman sosial maupun politik.
Kelima, akhir-akhir ini kebanyakan mereka memiliki kecenderungan untuk
lebih menyibukkan diri pada permasalahan furu’iyah (cabang)
dan mengabaikan permasalahan ushul (pokok). Padahal para
pendahulu kita telah mengatakan, “Barangsiapa mengabaikan pokok, maka dia tidak
akan pernah sampai ketujuan.” Mereka melalaikan pondasi bangunan secara
keseluruhan, yaitu akidah, iman, tauhid, dan keikhlasan dalam membela agama
Allah.
Kesalahan besar ini telah menyebar dalam tubuh kaum muslimin
dalam persoalan yang berkaitan dengan parameter prioritas, sehingga mereka
menganggap kecil hal-hal besar, membesarkan hal-hal kecil, mementingkan hal-hal
remeh, menunda perkara yang seharusnya didahulukan, mendahulukan permasalahan
yang seharusnya ditunda, mengabaikan amalan fardhu serta lebih fokus pada
amalan sunnah, dan berbantah-bantahan dalam masalah khilafiyah sehingga umat
perlu untuk mengkaji lebih dalam terhadap fikih prioritas agar umat memiliki
pandangan yang jelas dan wawasan yang luas untuk melakukan amalan yang terbaik.
Sumber:
Dr. Yusuf Qardhawy, Fiqh Prioritas: Robbani Press
No comments:
Post a Comment