Pages

Memahami Fikih Prioritas

Monday, December 14, 2015

Apabila kita memperhatikan kehidupan kita dari berbagai sisinya –baik dari segi material maupun spiritual, pemikiran, social, ekonomi, politik, maupun aspek lainnya- maka kita akan menemukan bahwa timbangan prioritas pada umat sudah tidak seimbang lagi.

Kita dapat menemukan di setiap Negara Arab dan Islam berbagai perbedaan yang sangat mencolok, yaitu perkara-perkara yang berkenaan dengan dunia seni dan hiburan senantiasa diprioritaskan dan didahulukan atas persoalan yang menyangkut ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dalam aktivitas pemuda misalnya, kita menemukan bahwa perhatian terhadap olahraga jauh lebih diutamakan daripada olah akal pikiran, sehingga makna pembinaan remaja lebih dititikberatkan pada pembinaan sisi jasmaniah daripada sisi ruhaniahnya.

Dalam persoalan lain seperti permasalahan fiqih misalnya, seringkali terjadi penyimpangan yang terjadi tidak hanya dikalangan kaum muslimin yang awam, namun juga terjadi pada orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada agama ini. Seringkali kita menyaksikan orang-orang seperti ini –walaupun sebenarnya mereka termasuk orang-orang yang memiliki keikhlasan- menyibukkan diri dengan perbuatan yang tidak kuat (marjuh), dan mereka menganggapnya sebagai amalan yang kuat (rajih). Mereka sibuk dengan perbuatan yang tidak utama (mafdhul), serta melalaikan perbuatan yang utama (fadhil).


Seringkali, suatu perbuatan itu pada suatu masa dinilai sebagai perbuatan yang utama, tetapi pada masa yang lain ia tidak lagi menjadi amalan yang utama; atau pada suatu situasi, amalan itu bisa dinilai kuat, sedangkan pada situasi yang lain amalan tersebut tidak lagi bisa diterima. Namun karena sempitnya pengetahuan, maka banyak manusia yang tidak mampu membedakan antara dua suasana atau situasi yang berbeda tersebut. Oleh karenanya, sebagian kaum muslimin saat ini seringkali terjebak dalam suatu perbuatan:

Pertama, mereka tidak mengindahkan amalan fardhu-fardhu kifayah yang berkaitan dengan umat secara menyeluruh seperti peningkatan kualitas ilmu pengetahuan, perindustrian, kepiawaian militer yang menjadikan umat bisa mandiri.

Kedua, mereka juga sering mengabaikan sebagian fardhu ‘ain. Kalaupun mereka melaksanakannya, itu pun dikerjakan dengan tidak sempurna, seperti kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, yang mana amalan ini sangat utama disebabkan Islam sendiri menyebutnya lebih dahulu sebelum menyebut persoalan shalat maupun zakat ketika Islam menjelaskan tentang ciri-ciri masyarakat beriman., “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, mendirikan shalat, menunaikan zakat….” (QS. At-Taubah: 71).

Ketiga, perhatian mereka lebih banyak terpusat pada sebagian rukun Islam dibandingkan pada perhatian terhadap rukun Islam yang lain. Ada di antara mereka yang lebih banyak memperhatikan persoalan puasa lebih banyak dibandingkan perhatiannya terhadap shalat. Disamping itu juga, ada sebagian orang yang lebih banyak memusatkan perhatiannya pada permasalahan shalat daripada zakat.

Keempat, mereka lebih banyak memperhatikan persoalan sunnah daripada amalan wajib. Hal ini sebagaimana banyak terjadi pada pemuka agama ini yang lebih sibuk memperbanyak zikir, tasbih, atau wirid, akan tetapi mereka melupakan kewajiban seperti berbakti pada orang tua, silaturahmi, bertetangga yang baik, mengasihi orang lemah, memelihara anak yatim, menyingkirkan kemunkaran, serta menyingkirkan kezaliman sosial maupun politik.

Kelima, akhir-akhir ini kebanyakan mereka memiliki kecenderungan untuk lebih menyibukkan diri pada permasalahan furu’iyah (cabang) dan mengabaikan permasalahan ushul (pokok). Padahal para pendahulu kita telah mengatakan, “Barangsiapa mengabaikan pokok, maka dia tidak akan pernah sampai ketujuan.” Mereka melalaikan pondasi bangunan secara keseluruhan, yaitu akidah, iman, tauhid, dan keikhlasan dalam membela agama Allah.

Kesalahan besar ini telah menyebar dalam tubuh kaum muslimin dalam persoalan yang berkaitan dengan parameter prioritas, sehingga mereka menganggap kecil hal-hal besar, membesarkan hal-hal kecil, mementingkan hal-hal remeh, menunda perkara yang seharusnya didahulukan, mendahulukan permasalahan yang seharusnya ditunda, mengabaikan amalan fardhu serta lebih fokus pada amalan sunnah, dan berbantah-bantahan dalam masalah khilafiyah sehingga umat perlu untuk mengkaji lebih dalam terhadap fikih prioritas agar umat memiliki pandangan yang jelas dan wawasan yang luas untuk melakukan amalan yang terbaik.

Sumber:
Dr. Yusuf Qardhawy, Fiqh Prioritas: Robbani Press


Subscribe your email address now to get the latest articles from us

No comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2015. Tapis Jakarta.
Design by Herdiansyah Hamzah - Distributed By Blogger Templates
Creative Commons License