Ahlul fatroh adalah orang-orang yang belum atau tidak
sampai kepada mereka ajaran para nabi, dan siapa saja yang dihukumi sama
seperti mereka, misalnya anak-anak orang musyrik.
Apakah Jahil dalam Masalah Tauhid Itu Udzur?
Di antaranya, hadits dari Bani Al-Muntafiq (hadist shahih)
ketika mereka datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan
bertanya kepada beliau dalam sebuah hadits yang panjang tentang orang yang
meninggal dari kalangan ahlul fatroh, maka Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, apa yang kamu lewati
berupa kuburan orang amir atau orang Quraisy, yaitu orang musyrik, maka
katakan, ‘Muhammad telah mengutus aku kepadamu, aku memberi kabar buruk
untukmu, (bahwa) kamu digusur dalam keadaan telengkup di dalam nereka.” (Musnad
Imam Ahmad 4/13 (16251) lihad Az-Zanad syarah lam’atul I’tiqad).
Ini dalil yang jelas lagi terang yang tiada kesamaran sedikit
pun di dalamnya, yang mana beliau menghukumi ahlul fatroh yang
mati di atas syirik dengan api neraka. Padahal mereka itu adalah orang-orang
jahil.
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata
dalam penjelasan hadist ini, “Dalam hadist ini, ada kehati-hatian (agar tidak
terpuruk) dari terpuruk kedalam syirik. Orang-orang bisa jatuh kedalamnya
(syirik), sedangkan dia tidak tahu bahwa (perbuatannya) itu
tergolong syirik yang menyebabkan (mereka) masuk neraka. (Fathul Majid: 132).
Ucapan beliau, “Dia tidak tahu” artinya bahwa dia itu jahil.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahab rahimahullah berkata
saat menjelaskan para pelaku syirik yang mengaku muslim, “Maka orang-orang
musyrik dan yang semisal dengan mereka dari kalangan yang beribadah kepada para
wali dan orang-orang shalih, kami memvonis mereka sebagai orang-orang musyrik,
dan kami memandang kekafiran mereka bila hujjah risaliyyah telah
tegak atas mereka.” (Ad-Durar 1/322 cet. lama).
Pelaku syirik akbar bila belum tegak hujjah dinamakan musyrik,
sedangkan bila sudah tegak hujjah atasnya maka dinamakan musyrik kafir.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan bila ada
satu orang dari kalangan orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu,
maka berilah dia perlindungan sampai dia mendengar firman Allah.” (QS.
At Taubah: 6).
Dalam ayat ini, Allah menamakan pelaku syirik sebagai orang
musyrik, meskipun dia belum mendengar firman Allah. Lalu, bagaimana dengan
penghukuman pelaku kesyirikan yang telah mendengar firman Allah, Al-Qur’an dia
baca, dan terjemahannya dia miliki pula, sebagaimana yang banyak terjadi di
kalangan umat muslimin pada zaman ini?
Tempat Ahlul Fatroh di Akhirat Kelak
Para ulama ijma’ bahwa orang yang berbuat
syirik akbar itu dinamakan musyrik. Hal yang menjadi perdebatan diantara mereka
itu hanyalah tentang masalah adzab di akhirat bagi yang belum tegak hujjah
risaliyyah atasnya. Adapun masalah nama di dunia, mereka sepakat bahwa
ia adalah musyrik. Begitu juga dengan penamaan bagi anak-anak yang meninggal
dunia sebelum baligh sementara orang tuanya kafir. Di dunia, tentang nama
mereka telah disepakati bahwa seorang anak yang meninggal dunia sebelum baligh
sedangkan kedua orang tuanya adalah kafir, maka dia dihukumi di dunia sebagai
kafir pula, sehingga jenazahnya tidak dimandikan, tidak dishalati, dan tidak
boleh dikubur di kuburan orang Islam. Adapun di akhirat, maka perkaranya
dikembalikan kepada Allah.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah
ditanya tentang anak-anak orang musyrik yang meninggal dunia sebelum baligh,
Beliau menjawab, "Allah lebih tahu apa yang akan mereka perbuat
(seandainya mereka hidup).” (HR. Muslim).
Sebagian Ulama berpendapat bahwa ilmu Allah tentang mereka akan
tampak pada Hari Kiamat, yaitu mereka diuji sebagaimana diujinya ahlul
fatrah. Jika mereka berhasil ketika diuji maka mereka masuk ke dalam surge,
sedangkan jika gagal, maka mereka masuk ke dalam neraka. Hadits-hadits tentang
diujinya ahlul fatroh pada hari kiamat adalah shahih.
Permasalahan mengenai tempat kembalinya ahlul fatroh di
akhirat kelak telah diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka selamat atau
mendapat siksa. Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah memaparkan
perkataan ulama tentang hal tersebut ketika menafsirkan firman Allah,
“Dan tidaklah Kami mengadzab sebelum Kami utus seorang Rasul.” (QS.
Al-Isra’: 15)
Kemudian Ibnu Katsir berkata di akhir pembahasannya tentang
masalah ini :
“Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa ahlul fatroh akan
diuji di Hari Kiamat. Barangsiapa yang taat akan masuk surga dan ilmu Allah
telah mendahului tentang kebahagiaan itu. Dan barangsiapa yang menolak akan
masuk neraka dan ilmu Allah telah mendahului mengetahuinya tentang kecelakaan
yang telah ditetapkan. Pendapat ini memadukan dalil-dalil yang ada. Inilah
pendapat yang dihikayatkan oleh Syaikh Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari
dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, itulah pendapat yang didukung oleh Al-Hafidz Abu
Bakar Al Baihaqy dalam kitab Al-I’tiqad. Demikian pula pendapat
lainnya dari para ulama yang muhaqiqqin (peneliti), para huffadz,
dan para kritikus hadits.” (Tafsir Ibnu Katsir III: 31-32)
Komentar paling bagus dalam masalah ini adalah pendapat Imam As
Syinqithiy dalam kitabnya, Adhwa’ul Bayan ketika menafsirkan
ayat-ayat di atas. Beliau telah menyebutkan beberapa madzhab dan kelemahan
setiap madzhab dalam masalah ini, kemudian beliau berkata pada akhir
pembahasannya,
“Kesimpulan dalam masalah ini mengenai apakah orang-orang
musyrik dalam masa fatroh disiksa atau tidak? Maka
(jawabannya) yaitu, Allah akan menguji mereka pada Hari Kiamat dengan api dan
memerintahkan mereka untuk memasukinya. Barangsiapa memasukinya akan masuk
Surga. Mereka itulah yang mempercayai para rasul seandainya mereka didatangi para
rasul di dunia. Dan barangsiapa yang menolak akan memasuki neraka dan disiksa
di dalamnya karena A1lah mengetahui apa yang mereka kerjakan seandainya para
rasul datang.” (Al-Adhwa III: 481).
Ahli Fatrah yang Menerima Dakwah Nabi-Nabi Sebelumnya Namun Melakukan
Kesyirikan
Pernah ada seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tentang ayahnya yang meninggal di atas ajaran syirik
pada zaman fatroh (zaman ketika tidak ada dakwah), maka
Rasulullah menjawab, “Ayahmu di neraka”, mendengar jawaban
itu, si laki-laki mukanya merah, dan ketika dia berpaling, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam memanggilnya dan mengatakan kepadanya, “Ayahku
dan ayahmu di neraka.” (HR. Muslim).
Ayah Rasulullah─’Abdullah─ meninggal pada zaman jahiliyah, saat
tidak ada dakwah, tidak ada hujjah risaliyyah, kemudian meninggal
di atas ajaran syirik kaumnya. Rasulullah bukan hanya menetapkan status nama di
dunia tapi juga langsung hukum pasti bagi ayahnya di akhirat kelak, berupa api
neraka. Dari hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah menyatakan
bahwa orang yang berbuat syirik akbar, baik zaman fatroh atau
bukan, baik ada dakwah atau tidak, dia itu adalah calon penghuni neraka.
Dari Buraidah radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
"Kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam
suatu perjalanan/safar, lalu beliau turun bersama kami, sedangkan kami pada
waktu itu (jumlahnya) mendekati seribu orang. Kemudian beliau shalat dua rakaat
(mengimami kami). Setelah selesai, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami
sedangkan kedua matanya mengalir air mata. Lalu bangkitlah Umar bin Khathab
(kemudian) menghampirinya, dan berkata, 'Ya Rasulullah, mengapa engkau
(menangis)?' Beliau menjawab, 'Sesungguhnya aku telah meminta kepada
Tuhan-ku Azza wa Jalla untuk memohon ampunan bagi ibuku, akan tetapi Ia tidak
memberiku izin kepadaku, maka dari itulah mengalir air mataku karena kasihan
kepadanya, karena ia termasuk (penghuni) neraka". (HR.
Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Hakim, Ibnu Hibban, Baihaqi, dan Tirmidzi).
Imam Muslim mengeluarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu
'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
“Aku meminta izin pada Allah (Rabb-ku) untuk memohonkan ampunan
untuk ibuku, maka Allah tidak mengizinkan aku, dan aku mohon izin untuk
menziarahi kuburnya, lalu Allah mengizinkanku.”
Dalam hadits ini, Allah melarang Rasul-Nya untuk memohonkan
ampun bagi ibunya padahal ibunya termasuk ahlul fatroh. Seandainya
mereka selamat, maka mengapa Allah melarang Rasulullah untuk memohonkan ampunan
bagi ibunya?
Imam An Nawawi rahimahullah telah berkata dalam Syarah
Shahih Muslim ketika menerangkan hadits ini :
“Hadits ini mempunyai makna bahwa barangsiapa yang mati dalam
kekafiran, maka ia di dalam neraka, tidaklah bermanfaat baginya hubungan
kerabat. Demikian pula orang yang mati dalam masa fatroh yang
memeluk ajaran orang-orang Arab yaitu penyembahan berhala maka ia menjadi
penduduk neraka dan mereka tidaklah diganjar demikian sebelum sampainya dakwah,
karena sesungguhnya telah sampai dakwah Ibrahim kepada mereka dan nabi-nabi
selainnya, shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim.” (Juz III: 79).
No comments:
Post a Comment