a. Hukum, hakama artinya qodhoo-a, yaqdhi, qodho;
menghukumi, memutuskan.
b. Perintah
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia.” (QS. Al-Isra: 23)
c. Kabar
Artinya: “Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu,
yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” (QS. Al-Hijr: 66)
Sedangkan yang dimaksud disini adalah makna yang pertama. Adapun
qadar, maksudnya yaitu takdir, menentukan atau membatasi ukuran segala sesuatu
sebelum terjadinya dan menulisnya di Lauhul Mahfuzh.
Qadha adalah hukum Allah Ta’ala yang telah
ditentukan-Nya untuk alam semesta ini. Dia menjalankan alam ini sesuai dengan
konsekuensi hukum-Nya dari sunnah-sunnah yang Dia kaitkan dengan hubungan
sebab-akibat, berlaku sejak Dia menghendakinya hingga selama-lamanya. Oleh
sebab itu, peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam ini bersumber dari takdir
yang mendahuluinya. Hal itu sesuai dengan takdir yang telah diatur oleh Allah Ta’ala.
Segala sesuatu yang terjadi berarti telah ditakdirkan-Nya, sedangkan yang belum
terjadi berarti belum ditentukan-Nya. Apapun yang bukan bagianmu, maka tidak
akan engkau peroleh, sedangkan apapun yang menjadi bagianmu, maka tidak akan
lepas darimu.
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
- Beriman
Kepada Qadha dan Qadar-Nya
Beriman pada qadha dan qadar Allah Ta’ala merupakan
rukun iman keenam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-Nya, Hari Akhir, dan engkau beriman kepada Qadar-Nya
yang baik maupun yang buruk.” (HR. Bukhari I/19, Muslim I/37)
Artinya: “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan
(tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul
Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput darimu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 22-23)
Ayat di atas membuktikan bahwa segala yang terjadi pada alam
semesta dan jiwa manusia−baik atau buruk− semua itu sudah ditakdirkan oleh
Allah Ta’ala, serta tertulis sebelum terciptanya makhluk.
- Tingkatan
Beriman Kepada Takdir
Pertama: Beriman pada ilmu Allah Ta’ala bahwa
Dia mengetahui segala sesuatu. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya yang terkecil
sekalipun, bahkan mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum Dia menciptakannya.
Allah Ta’ala juga mengetahui kondisi makhluk-makhluk-Nya,
perbuatan yang akan mereka lakukan, dan rahasia-rahasia yang mereka
sembunyikan.
Artinya: “...dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar
meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika
ditanya mengenai anak-anak orang musyrik, maka beliau menjawab, “Allah
lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika Dia menciptakan mereka.” (HR.
Bukhari VIII/153, Muslim IV/2049)
Kedua: Mengimani bahwa Allah Ta’ala menulis dan
mencatat takdir makhluk-Nya di Lauhul Mahfuz, serta tiada satu pun
yang terlupakan.
Artinya: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian
itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauhul Mahfuzh). Sesungguhnya yang
demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj: 70)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Makhluk
yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah al-qalam (pena). Kemudian Dia
berkata kepadanya, ‘Tulislah.’ Pena berkata, ‘Apa yang hamba tulis?’ Dia
berkata, ‘Maka dia pun menulis apa yang ada dan apa yang bakal ada sampai hari
kiamat.’” (HR. Ahmad V/37, lihat Kitab Syari’ah karya Al-Jurri, hal.
77, 178, 186, 187)
Ketiga: Beriman pada masyi’ah (kehendak)
Allah Ta’ala dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apapun yang
dikehendaki-Nya pasti terjadi karena kuasa-Nya, sedangkan yang tidak terjadi
bukan karena ketidakmampuan-Nya, namun karena Dia tidak menghendakinya.
Artinya: “Dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik
di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.”
(QS. Fathir: 44)
Artinya: “Sesungguhnya perintah Allah apabila Dia menghendaki
sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia.”
(QS. Yasin: 82)
Keempat: Mengimani bahwa Allah Ta’ala adalah
pencipta segala sesuatu, tiada pencipta selain-Nya.
Artinya: “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara
segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar: 62)
Artinya: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS.
Al-Fatihah: 2)
- Macam-Macam
Takdir
Terdapat empat macam takdir yang keseluruhannya termasuk
kandungan dari tulisan takdir umum dan semuanya kembali pada ilmu Allah Ta’ala yang
mutlak serta mencakup segala sesuatu.
Takdir pertama, yaitu takdir umum (takdir
azali), meliputi segala hal dalam lima puluh ribu tahun sebelum terciptanya
langit dan bumi, saat Allah Ta’ala menciptakan al-qalam dan
memerintahkannya untuk menulis segala kejadian yang ada hingga hari kiamat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah
telah menulis takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Dia
menciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan Arsy-Nya berada di atas
air.’” (HR. Muslim IV/2044)
Takdir kedua, yaitu takdir ‘umuri, merupakan
takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya, ketika
pembentukan sperma sampai masa sesudah itu, serta bersifat umum meliputi,
rezeki, perbuatan, kebahagiaan, dan kesengsaraan, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya salah seorang
dari kamu dikumpulkan di perut ibunya selama 40 hari, kemudian berbentuk
‘alaqah (segumpal darah) seperti itu (lamanya), kemudian menjadi mudhghah
(embrio/segumpal daging) seperti itu (lamanya). Kemudian Allah mengutus seorang
malaikat yang diperintah (menulis) empat perkara: rezekinya, ajalnya, sengsara,
atau bahagia. Demi Allah, sesungguhnya seorang dari kamu atau seorang laki-laki
akan beramal seperti amalnya ahli neraka sampai tidak ada jarak antara dia
dengan neraka melainkan satu depa atau satu hasta. Ternyata catatan takdir
telah mendahuluinya, sehingga ia melakukan amalan amalnya ahli surga, maka ia
pun memasukinya. Dan sesungguhnya seorang laki-laki akan beramal seperti
amalnya ahli surga sampai tidak ada jarak antara dia dengan surga melainkan
satu depa atau satu hasta. Ternyata tulisan takdir telah mendahuluinya,
sehingga ia mengamalkan amalnya ahli neraka, maka ia pun memasukinya.” (HR.
Bukhari VIII/152, Muslim IV/36)
Takdir ketiga, takdir sanawi (tahunan),
yaitu takdir yang dicatat pada malam lailatul qadar setiap tahun. Allah Ta’ala berfirman
Artinya: “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh
hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami
adalah yang mengutus rasul-rasul.” (QS. Ad-Dukhan: 4-5)
Para mufassir menjelaskan bahwa pada malam itu
ditulislah segala hal yang akan terjadi dalam satu tahun, mulai dari kebaikan,
keburukan, rezeki, ajal, dan lainnya.
Takdir keempat, yaitu takdir
yaumi (harian), takdir ini dikhususkan untuk semua peristiwa yang
telah ditakdirkan dalam satu hari, mulai dari penciptaan, rezeki, menghidupkan,
mematikan, mengampuni dosa, atau menghilangkan kesulitan. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala
Artinya: “Setiap waktu dia dalam kesibukan.” (QS. Ar-Rahman: 29)
- Berdalih
Dengan Qadha’ dan Qadar Untuk Melakukan Kemaksiatan
Sebagian orang ketika dirinya meninggalkan perintah Allah Ta’ala atau
melanggar larangan-Nya, beralasan bahwa hal itu telah ditakdirkan Allah Ta’ala.
Mereka berpendapat seperti itu untuk menghibur dan menenangkan hatinya. Tentu
pendapat tersebut merupakan kesalahan besar dalam memahami permasalahan qadha
dan qadar.
Artinya: “...agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih
baik amalnya.” (QS. Hud: 7)
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa manusia diciptakan untuk
diuji agar berbuat baik. Ujian ini sesuai kemampuannya untuk melakukan atau
tidak setelah mengetahuinya.
- Berdalih
Dengan Takdir Ketika Tertimpa Musibah
Berdalih dengan takdir atas musibah yang dialami merupakan
perkara yang dibolehkan. Segala musibah yang telah ditakdirkan kepada manusia
harus diterima dengan sikap ridha. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Adam dan Musa ‘alaihissalam
berbantah-bantahan. Musa ‘alaihissalam berkata, ‘Wahai Adam, Anda adalah bapak
kami. Anda telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga.’ Maka Adam
berkata kepadanya, ‘Engkau Musa ‘alaihissalam, Allah telah memilihmu dengan
kalam-Nya dan menuliskan untukmu dengan tangan-Nya. Apakah engkau mencelaku
berdasarkan suatu perkara yang telah ditakdirkan Allah menimpaku sebelum aku
diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Maka Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa.’” (HR
Muslim IV/2042-2043)
Adam ‘alaihissalam menggunakan argumen takdir
atas musibah yang menimpanya, yaitu keluar dari surga. Allah Ta’ala telah
menetapkan bahwa Adam dan anak keturunannya akan hidup di dunia.
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’
Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan
berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (QS.
Al-Baqarah: 30)
Daftar
Pustaka
Tim Ahli Tauhid. 2005, Kitab Tauhid 2. Jakarta:
Darul Haq
Al-Atsari, Abdullah bin Abdul Hamid. 2007. Intisari
‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i
At-Tuwaijiri, Muhammad bin Ibrahim. 2007. Ensiklopedia
Islam Al-Kamil. Jakarta: Darus Sunnah Press
No comments:
Post a Comment