Secara bahasa, pengertian hadits adalah berita atau baru. Fairuz
Abadi berkata, “(hadatsu, huduutsan, wa hadaatsatan)
maknanya adalah kebalikan dari lama, dan alhadiitsu maknanya
adalah baru atau berita. Bentuk jamaknya ahaadiitsu (Lihat Al-Qomus
Muhith 1/164).
Adapun pengertian hadits secara istilah adalah segala sesuatu
yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, perangai, maupun sifat jasad beliau
(Taisir Mushtholah Hadits oleh Syekh Mahmud Ath-Thohhan, hal. 14).
Pengertian ini sama dengan pengertian as-sunnah, khobar, dan atsar
(Nuzhatun Nazhar oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar, hal. 52). Hanya saja sebagian ulama
membedakan antara hadits dengan atsar. Mereka menyatakan bahwa hadits itu yang
datangnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan
jika datangnya dari sahabat maka disebut atsar (Dirosat fi Ulumil Hadits oleh
Isma’il Salim Abdul ‘Ali, hal. 7; Al-Hadits An-Nabawi oleh Muhammad
Ash-Shobbagh hal. 15).
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Adapun lemah, dalam bahasa Arab adalah dho’ifu yang
secara bahasa berarti kebalikan dari kuat, baik tidak kuat secara fisik maupun
maknawi. Sedangkan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah lemah secara
maknawi. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa hadits lemah adalah hadits
yang tidak memiliki kriteria hadits sahih dan hasan (Muqoddimah Ibnu Sholah,
hal. 37; Tadribur Rowi oleh Imam As-Suyuthi 1/179; Ikhtishor Ulum Hadits oleh
Imam Ibnu Katsir, hal. 44; Taudhihul Afkar oleh Imam Ash-Shan’ani 1/247).
Syarat-syarat agar sebuah hadits dikategorikan sebagai hadits
sahih, yaitu:
- Sanadnya
bersambung
- Perawinya dhobit (hafalannya
bagus)
- Perawinya adil (terpercaya)
- Selamat dari syudzudz
- Selamat dari ‘illat
qodihah (sebuah cacat yang berpengaruh pada kesahihan hadits)
Hukum Meriwayatkan Hadits Lemah
Sebagian ulama menyatakan boleh meriwayatkan hadits lemah tanpa
menerangkan kelemahannya, tetapi dengan beberapa syarat:
- Hadits tersebut
tidak berhubungan dengan masalah akidah, ibadah, serta hukum halal dan
haram. Namun dibolehkan jika berkaitan dengan kisah-kisah atau keutamaan
amal.
- Kelemahan hadits
tersebut ringan, bukan lemah yang berat atau palsu (Fathul Mughits oleh
Imam Al-‘Iroqi 1/267; Muqoddimah Ibnu Sholah, hal. 93; Tadribur Rowi oleh
As-Suyuti 1/298.).
Pendapat yang kuat menurut para ahli hadits adalah tidak boleh
meriwayatkan hadits lemah tanpa menerangkan kelemahannya, karena hal itu akan
membuat orang lain menyangka bahwa hadits tersebut merupakan hadits sahih
(Al-Ba’its Hatsits oleh Syekh Ahmad Syakir, hal. 91; Muqoddimah Shohih Jami’
Shaghir oleh Imam Al-Albani 1/46). Sedangkan maksud dari pernyataan para imam
ahli hadits yang membolehkan untuk meriwayatkan hadits lemah tanpa keterangan,
maka penjelasannya sebagai berikut:
- Pengelompokkan
hadits menjadi sahih, hasan, dan lemah itu belum ada pada zaman mereka,
disebabkan kategorisasi hadits dengan istilah ini pertama kali dimunculkan
oleh Imam Tirmidzi dalam kitab Sunannya.
- Para ulama
terdahulu selalu meriwayatkan hadits disertai sanadnya. Oleh karenanya
pada zaman itu, jika seorang ulama telah meriwayatkan hadits beserta
sanadnya, maka ia telah lepas tanggung jawab dari kesahihan dan kelemahan
hadits yang diriwayatkannya. Namun pada saat ini, hampir tidak ditemukan
seseorang meriwayatkan hadits lemah beserta sanadnya. Apalagi mayoritas
umat ini tidak bisa membedakan antara hadits lemah dan sahih jika hanya
ditunjukkan sanadnya (Muqoddimah Shohih At-Targhib wa Tarhib oleh Syekh
Al-Albani, hal. 19.).
Hukum Mengamalkan Hadits Lemah
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang hukum beramal dengan
berlandaskan hadits lemah. Ada tiga pendapat mengenai masalah ini.
- Pendapat Pertama
Hadits lemah tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam
masalah akidah, hukum syar’i, targhib wa tarhib (menyampaikan
kabar gembira dan ancaman), dan keutamaan amal. Ini adalah pendapat dari Imam
Yahya bin Ma’in, Abu Bakr Ibnul Arabi, Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, Abu Syamah,
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, sedangkan ulama
kontemporer yang mendukung pendapat ini di antaranya syekh Ahmad Syakir dan
syekh Al-Albani. Alasan mereka melarang pengamalan hadits lemah, yaitu:
- Masalah fadhilah
amal sama dengan hukum halal dan haram, karena keseluruhannya
adalah bagian dari syariat Islam.
- Hadits sahih dan
hasan telah cukup sebagai landasan untuk beramal, sehingga hadits lemah
tidak dibutuhkan.
- Hadits lemah
hanya menimbulkan dhon marjuh (persangkaan yang lemah),
padahal berargumentasi dengan persangkaan belaka tidak dibolehkan.
- Pendapat Kedua
Hadits lemah bisa diamalkan secara mutlak, baik dalam menetapkan
masalah halal, haram, wajib, dan sunnah, namun dengan syarat:
- Tidak ada hadits
lain atau fatwa dari para sahabat.
- Hadits itu tidak
sangat lemah, sebab hadits yang sangat lemah harus ditinggalkan.
- Tidak ada hadits
lain yang bertentangan dengannya.
Pendapat ini berasal dari Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Abu Daud.
- Pendapat Ketiga
Hadits lemah bisa diamalkan dalam fadhilah amal,
nasihat, kisah, serta targhib wa tarhib. Adapun dalam masalah
akidah, halal-haram, wajib, dan sunnah, maka tidak boleh menggunakan hadits
lemah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya Imam Ahmad, Ibnu Ma’in,
Ibnul Mubarak, Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Al Khathib Al Baghdadi, Ibnu Sayyidin Nas,
Al-Iraqi, As-Sakhawi, As-Suyuthi, dan Ali Al-Qari’.
Namun para ulama yang membolehkan hadits lemah sebagai landasan fadhilah
amal mengajukan beberapa syarat dalam pengamalannya. Apabila salah
satu dari syarat itu tidak terpenuhi, maka hadits lemah tidak boleh dijadikan
landasan. Syarat-syaratnya adalah:
- Hadits itu
lemahnya ringan, maka tidak diterima jika terdapat perawi yang pendusta,
tertuduh berdusta, sering salah, dan lainnya.
- Hadits tersebut
selaras dengan keumuman hadits lain yang sahih.
- Hadits lemah
tersebut tidak boleh disebarkan.
- Ketika
mengamalkan hadits lemah tersebut harus meyakini bahwa hadits itu tidak
sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
No comments:
Post a Comment