Hadits palsu dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah hadits
maudhu (alhaditsul maudhu’). Al-Maudhu’ secara bahasa
merupakan bentuk isim maf’ul dari kata wadho’a yang
berarti meletakkan, merendahkan, membuat-buat, dan menempelkan (Lisanul Arab
oleh Ibnu Mandhur 8/389; Al-Qomus Muhith oleh Fairuz Abadi 3/94).
Sedangkan secara istilah, hadits maudhu adalah hadits yang
dibuat-buat dan didustakan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Dengan demikian, sebenarnya hadits maudhu bukanlah hadits, namun
hanya bentuk kedustaan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam (Lamahat an Ushulil Hadits oleh Syekh Muhammad Adib Sholih,
hal. 305).
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Sejarah
Munculnya Hadits Palsu
Hal utama yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam kepada para sahabatnya di antaranya adalah berbuat dan
berkata jujur. Para sahabat selalu komitmen dengan ajaran ini. Namun setelah
generasi mereka muncul sekelompok orang yang dikuasai hawa nafsu, terutama saat
terjadinya fitnah dalam tubuh umat Islam. Kemunculan fitnah ditandai dengan
terbunuhnya Umar bin Khathab, kemudian Utsman bin Affan, serta terjadinya
perang Jamal dan Shiffin.
Fitnah terus bertambah dari waktu ke waktu, hingga mencapai
puncaknya diakhir zaman tabiin. Kaum muslimin saat itu saling berselisih antara
satu golongan dengan golongan lainnya. Mereka menggunakan dalil dari Al-Qur’an
dan hadits untuk menguatkan golongannya maupun untuk melemahkan lawannya.
Kemudian mereka membuat hadits palsu yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam untuk menguatkan golongannya masing-masing. Namun
tentang kapan tepatnya muncul hadits palsu, maka tidak diketahui (A Wadh’u fil
Hadits 1/180, 202 oleh Dr. Umar Falatah).
A. Sebab-Sebab Pemalsuan Hadits
1. Perselisihan Politik
Akibat gejolak politik yang terjadi saat itu, muncul banyak
kelompok yang masing-masing ingin menguatkan mazhabnya meskipun dengan
memalsukan sebuah hadits. Kelompok yang paling banyak melakukan pemalsuan
hadits adalah syi’ah. Syi’ah banyak membuat hadits palsu seputar keutamaan Ali
bin Abi Thalib, contohnya hadits, “Barangsiapa yang ingin melihat ilmu
Adam, kepahaman Nuh, kelembutan Ibrahim, kezuhudan Yahya bin Zakariya, kekuatan
Musa bin Imran, maka lihatlah Ali bin Abi Thalib.” (Al Fawa’id
Al-Majmu’ah no. 1098 oleh Imam Asy-Syaukani.)
- Kemudian
beberapa kelompok lain tatkala melihat syi’ah membuat hadits palsu untuk
menggambarkan keutamaan Ali diatas Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Muawiyah,
maka mereka pun membuat hadits palsu tandingan, seperti, “Orang-orang
yang terpercaya menurut Allah itu ada tiga, saya (Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam), Jibril, dan Muawiyah.”( Tanzihus Syari’ah 2/4 oleh
Ibnu ‘Aroq.)
- Perbuatan
Orang-Orang Zindiq dan Ilhad
Orang-orang zindiq dan ilhad menafsirkan makna Al-Qur’an dan
sunnah dengan penafsiran yang rusak serta bertentangan dengan pokok-pokok
akidah Islam. Mereka adalah orang-orang yang menyembunyikan kekufuran, namun
secara lahir menampakkan keislaman. Di antara mereka juga terdapat orang-orang
yang tidak beragama atau atheis.
3. Fanatik Pada Negara, Bahasa, atau Imam.
Para Khalifah Bani Umayah hanya mengangkat orang-orang Arab
untuk mengurusi pemerintahannya, sehingga kalangan non Arab merasa
terpinggirkan. Oleh karenanya, kalangan non Arab membuat hadits palsu yaitu, “Sesungguhnya
bahasa para malaikat yang berada di sekitar ‘arsy itu menggunakan bahasa
Persia. Dan apabila Allah mewahyukan sesuatu yang bersifat lembut, maka Dia
mewahyukannya dengan bahasa Persia. Namun jika wahyu itu bersifat keras, maka
dengan bahasa Arab.” (Tanzhius Syari’ah 1/36)
Demikian juga orang-orang yang fanatik buta terhadap seorang
imam, mereka pun membuat hadits palsu, di antaranya, “Akan ada
dikalangan umatku seseorang yang bernama Muhammad bin Idris. Dia lebih
berbahaya atas umatku daripada iblis. Dan akan datang dikalangan umatku
seseorang yang bernama Abu Hanifah, dia adalah penerang umatku.” (Al-Maudhu’at
2/49 oleh Ibnul Jauzi )
4. Tukang Cerita
Adanya orang-orang yang hobi bercerita dan memberi nasihat,
namun mereka tidak berilmu. Mereka ingin orang lain mendengar cerita dan
nasihatnya. Untuk menarik perhatian orang lain, maka mereka membuat
hadits-hadits palsu. Di antara mereka ada yang hanya ingin menarik perhatian
orang lain, akan tetapi banyak pula yang bertujuan untuk mencari uang.
5. Perbedaan Pendapat Dalam Masalah Akidah dan Fikih
Beberapa kelompok mazhab yang sangat fanatik, mereka membuat
hadits-hadits palsu untuk mendukung pendapatnya. Misalnya hadits yang berbunyi, “Barangsiapa
yang mengangkat kedua tangannya setelah ruku’, maka tidak ada solat baginya.” (Al-Maudhu’at
2/197)
6. Orang-Orang yang Bertujuan Baik, Namun Salah Jalan
Sebagian orang shalih, ahli zuhud, dan ibadah, tetapi tidak
memiliki cukup ilmu, mereka senang membuat hadits-hadits palsu untuk menasihati
orang-orang yang malas dan lalai beribadah agar mereka mengingat kembali
akhirat. Mereka menyangka bahwa perbuatannya itu bisa mendekatkan diri kepada
Allah Ta’ala.
7. Menjilat Penguasa
Banyak ulama jahat yang mendekati penguasa dengan memberi fatwa,
pendapat, atau hadits palsu untuk menyenangkan penguasa tersebut.
B. Ciri-Ciri Hadits Palsu
- Dari Sisi Sanad
Sanad adalah rangkaian para perawi hadits yang menghubungkan
antara pencatat hadits sampai ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Terdapat banyak hal untuk bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits
dari sisi sanadnya, di antaranya:
- Salah satu
perawinya adalah pendusta dan hadits itu hanya diriwayatkan oleh pendusta
tersebut, serta tidak ada perawi tsiqah (terpercaya) yang
meriwayatkannya.
- Para pemalsu
hadits mengakui perbuatannya sendiri. Hal ini seperti yang dilakukan Abdul
Karim bin Abi Auja’ yang mengaku telah memalsukan empat ribu hadits.
- Kedustaan perawi
diketahui oleh ulama lain.
- Terdapat banyak
bukti yang menunjukkan bahwa perawi memang seorang pendusta. Seperti
penganut syi’ah fanatik yang meriwayatkan hadits palsu untuk mencela
sahabat dan mengagungkan ahlul bait.
- Dari Sisi Matan
Matan adalah isi hadits. Untuk mengetahui kepalsuan sebuah
hadits dari sisi matan, maka dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:
- Tata bahasanya
yang sangat buruk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
seseorang yang sangat fasih dalam mengungkapkan kata-kata, karena Allah Ta’ala menganugerahkan
beliau dengan jawami’ul kalim (kata singkat yang
mengandung keluasan makna).
- Maknanya rusak.
Contohnya adalah hadits, “Bahwasanya kapal Nabi Nuh mengelilingi
Ka’bah tujuh kali, lalu solat dua raka’at di belakang makam Ibrahim.” (Al-Maudhu’at
1/100)
- Bertentangan
dengan dalil Al-Qur’an dan hadits yang sahih, sehingga hadits palsu itu
tidak bisa dibawa pada makna yang benar. Misal hadits, “Anak zina
dan anak keturunannya sampai tujuh turunan tidak akan masuk surga.” (Al-Fawa’id
Al-Majmu’ah no. 594). Hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah Ta’ala, “Seseorang
tidak akan menanggung dosa orang lain.” (QS. Al-Isra’: 15)
- Bertentangan
dengan fakta sejarah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Seperti hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menggugurkan kewajiban membayar jizyah orang-orang
Yahudi di Khaibar yang ditulis oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan
disaksikan oleh Sa’ad bin Mu’adz. Padahal diketahui dalam sejarah bahwa jizyah belum
disyari’atkan saat peristiwa perang Khaibar yang terjadi pada tahun ke-7
Hijriyah, karena jizyah baru disyari’atkan saat perang
Tabuk tahun ke-9 Hijriyah.
- Hadits itu
sesuai dengan mazhab perawinya, kemudian ia dikenal sebagai pengikut
mazhab yang fanatik.
- Hadits yang
seharusnya diriwayatkan banyak orang karena terjadi di sebuah tempat yang
dapat didengar banyak orang dan termasuk perkara besar, namun hanya
seorang saja yang meriwayatkannya. Misalnya sebuah riwayat yang
disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atas
diangkatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, maka dapat diketahui
riwayat itu adalah kedustaan belaka.( Minhajus Sunnah An-Nabawiyah 7/440)
- Hadits itu
menunjukkan adanya ganjaran pahala yang sangat besar untuk suatu amal
perbuatan yang kecil, atau sebaliknya. Contohnya hadits yang berbunyi, “Barangsiapa
yang solat dua raka’at, maka dia akan mendapatkan pahala Nabi Musa dan
Isa.”( Al-Maudhu’at 2/112)
- Hadits itu
terdapat dalam sebuah kitab, namun tidak ada yang meriwayatkannya dan tidak
memiliki sanad.
Hukum Memalsukan Hadits
Para ulama telah sepakat tentang haramnya berdusta atas nama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apapun sebab dan
alasannya. Adapun sebagian kelompok umat Islam, sebagaimana halnya kelompok
Karomiyah, yang membolehkan berdusta atas nama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam untuk memberi semangat kepada umat dalam beribadah,
serta untuk menakuti mereka dari perbuatan dosa, maka pendapat kelompok ini
tidak perlu diperhatikan.
Hukum Meriwayatkan Hadits Palsu
Orang yang meriwayatkan hadits palsu, ada kemungkinan ia
mengetahui kepalsuannya, tetapi mungkin juga ia tidak mengetahuinya. Jika ia
meriwayatkan hadits yang tidak diketahui bahwa hadits itu palsu, maka tidak
berdosa, meskipun dianggap sebagai perbuatan mungkar. Namun tetap dia
dikhawatirkan masuk dalam golongan yang disabdakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang meriwayatkan sebuah hadits
dariku yang dia sangka bahwa hadits itu dusta, maka dia termasuk salah satu
pendusta.” (HR. Muslim). Jika ia mengetahui bahwa hadits itu palsu,
maka ada dua kemungkinan:
- Meriwayatkan
hadits palsu tersebut untuk menerangkan kepalsuannya. Para ulama sepakat
bahwa perbuatan itu dibolehkan.
- Bila
meriwayatkannya bukan untuk menjelaskan kepalsuannya, maka perbuatan itu
diharamkan.( Al-Wadh’u fil Hadits 1/323, 324)
Hukum Mengamalkan Hadits Palsu
Para ulama telah bersepakat tentang keharaman meriwayatkan
hadits palsu, termasuk mengamalkannya. Imam Zaid bin Aslam berkata,
“Barangsiapa yang mengamalkan sebuah hadits yang palsu, maka dia salah satu
pembantu setan.” (Tadzkiratul Maudhu’at oleh Al-Fatanni, hal. 7)
No comments:
Post a Comment