Kerajinan Tenun
Tradisional Kain Tapis Khas Lampung Kain tapis adalah hasil kerajinan tenun
tradisional khas masyarakat Lampung berbentuk sarung. Benang yang digunakan
untuk menenun kain tapis biasanya adalah benang katun. Namun kadang juga
digunakan benang sutera. Diatas kain tapis terdapat sulaman bermotif tumbuhan,
hewan, atau berisi cerita aktifitas masyarakat sehari-hari yang disulam
menggunakan benang emas atau benang perak. (baca juga: koleksi tapis kaligrafi)
Kerajinan kain tapis ini
tidak serta-merta muncul begitu saja. Perkembangan kain tapis bisa dilacak
semenjak lama dimana masyarakat Lampung semenjak abad ke-2 Masehi sudah dikenal
suka menenun kain brokat. Dua jenis kain brokat yang sering dibuat pada masa
itu adalah kain nampan dan kain pelepai. Ada juga prasasti Raja Belitang yang
bertanggalkan tahun 898-915 yang memberikan bukti tertulis dimana kain tapis
disebutkan digunakan sebagai hadiah. Bahkan ada koleksi kain tapis berumur
sekitar 400 tahun yang masih bisa bertahan hingga sekarang dan disimpan dalam
musim yang ada di Inggris dan Amerika.
Seiring berjalannya
waktu, para pengrajin ini mulai membuat modifikasi kerajinan pembuatan kain
mereka dan kemudian berkembang menjadi inovasi seperti kain tapis yang kita
kenal saat ini. Ragam corak sulaman kain tapis sangat kaya. Kekayaan ini adalah
hasil perjalanan kain tapi melewati berbagai masa yang dipengaruhi berbagai
kebudayaan dan agama yang masuk ke Lampung. Mulai dari masa kepercayaan
animisme yang bisa dilihat dari corak pohon hayat, yaitu pohon yang dikeramatkan
oleh masyarakat pada waktu itu. Pohon ini dipercaya mempunyai kekuatan magis
karena berisi roh para leluhur. Lalu kemudian kain tapis melawati zaman
perunggu yang ditandai dengan kedatangan budaya Dongson yang berasal dari Siam.
Siam sekarang lebih dikenal sebagai Vietnam. Ini bisa dilihat dari ada corak
sulaman kain tapis yang berbentuk seperti nekara perunggu, yaitu instrumen
musik yang berasal dari budaya Dongson.
Selanjutnya corak kain
tapis berkembang lagi dengan pengaruh dari Hindu dan Budha. Ini bisa dilihat
dari motif sulaman berbentuk makhluk hidup. Ketika masa Islam datang praktek
menyulam dengan motif makhluk hidup mulai berkurang dan diganti dengan
bentuk-bentuk geometri. Belanda yang pernah menjajah Indonesia juga turut
mempengarahui motif yang dibuat oleh para penenun kain tapi pada masa
penjajahan.
Perjalanan panjang
melewati berbagai zaman membuat kain tapis mempunyai lebih dari 200 motif yang
berbeda. Namun dari jumlah itu hanya tinggal sekitar 30 motif yang masih
diproduksi dan dikenal hingga kini. Proses penenunan kain tapis tradisional
melibatkan pembuatan bahan baku kain yang terbuat dari katun. Kain ini kemudian
diberi warna menggunakan bahan baku seperti buah pinang, daun pacar, dan kulit
kayu kejal yang menghasilkan warna merah. Sementara itu ada juga bahan pewarna
yang terbuat dari kayu kayu salam dan kayu rambutan yang bisa menghasilkan
warna hitam. Untuk membuat warna cokelat digunakan kulit kayu mahogani dan kayu
durian. Warna kuning bisa diambil dari kunyit dan kapur sirih. Sementara warna
biru bisa dihasilkan dari buah deduku dan daun talom. Setelah proses pewarnaan,
selanjutnya kain katun direndam dalam campuran air akar serai wangi. Proses
perendaman ini digunakan untuk mengawetkan kain.
Meskipun mempunyai
kemiripan dengan kain songket, namun kain tapis mempunyai keunikannya sendiri.
Ini bisa dilihat pada proses terakhir dimana benang emas atau perak “dicucuk”
langsung keatas permukaan kain katun, bukannya dipintal bersama kain katun.
Karena berbagai langkah yang diperlukan untuk membuat satu lembar kain tapis
begitu panjang, maka ini berpengaruh terhadap waktu pembuatannya yang bisa
mencapai berbulan-bulan. Mungkin karena sulitnya proses tersebut, maka saat ini
proses pembuatan kain tapis secara tradisional akan sudah semakin langka.
Sekarang para pengrajin kain tapis lebih suka membeli kain katun yang sudah
jadi. Lalu kemudian menggunakan pelarut untuk membuat warna kain agar mirip
dengan kain yang diwarnai dengan bahan pewarna tradisional. Proses ini
menyebabkan pengrajin kain tapis bisa menghasilkan beberapa lembar kain tapis
dalam sebulan. Pada satu sisi teknik ini bisa memberikan keuntungan bagi para
penenun, karena mereka tidak lagi disibukkan dengan proses pemintalan kain
katun, pewarnaan, hingga pengawetan. Jadi mereka bisa fokus pada motif yang
ingin disulam diatas kain tapis. Namun pada sisi lain semakin langka-nya
pengrajin yang menguasai teknik pembuatan kain tapis secara tradisional membuat
kain tapis kehilangan salah satu daya tariknya. Jika dibiarkan terus seperti
ini, mungkin proses pembuatan kain tapis dengan teknik tradisional akan punah
dimakan waktu.
Dimasa lalu kain tapis
digunakan untuk berbagai acara oleh kaum perempuan. Misalnya ketika suami
mereka sedang melakukan pengambilan gelar Sutan, dipakai oleh para orang tua
perempuan pada acara pernikahan anak, dipakai oleh pengantin perempuan, dipakai
pada saat acara sunatan, dan berbagai acara adat lainnya. Jika dalam acara adat
diadakan pementasan tarian, maka para penari perempuan biasanya juga mengenakan
kain tapis. Ada kain tapis yang juga digunakan oleh kaum pria, tapi jumlahnya
tidak sebanyak seperti yang dimiliki oleh kaum perempuan. Misalnya kain tapis
bidak cakil yang biasanya digunakan oleh pria pada saat menghadiri acara adat.
Juga ada tapis kaca yang umumnya digunakan oleh para pengiring penganti
perempuan, tapi kadang-kadang juga digunakan oleh pria pada saat upacara adat.
Kerumitan motif dan bahan baku yang digunakan bisa menunjukkan status sosial
dari sang pemakai. Misalnya ada motif kain tapis tertentu yang dulu digunakan
hanya oleh istri para Sutan. Namun sekarang motif kain tapis tersebut tidak
hanya dimonopoli oleh kaum bangsawan. Warga biasa sekarang bebas menggunakan
motif yang mereka sukai.
Sumber:
Pic: http://www.indonesia.travel
http://jalan2.com
No comments:
Post a Comment