Pages

Menelusuri Sejarah Pusat Kerajinan Tapis

Thursday, November 19, 2015

Kerajinan Tenun Tradisional Kain Tapis Khas Lampung Kain tapis adalah hasil kerajinan tenun tradisional khas masyarakat Lampung berbentuk sarung. Benang yang digunakan untuk menenun kain tapis biasanya adalah benang katun. Namun kadang juga digunakan benang sutera. Diatas kain tapis terdapat sulaman bermotif tumbuhan, hewan, atau berisi cerita aktifitas masyarakat sehari-hari yang disulam menggunakan benang emas atau benang perak. (baca juga: koleksi tapis kaligrafi)

Kerajinan kain tapis ini tidak serta-merta muncul begitu saja. Perkembangan kain tapis bisa dilacak semenjak lama dimana masyarakat Lampung semenjak abad ke-2 Masehi sudah dikenal suka menenun kain brokat. Dua jenis kain brokat yang sering dibuat pada masa itu adalah kain nampan dan kain pelepai. Ada juga prasasti Raja Belitang yang bertanggalkan tahun 898-915 yang memberikan bukti tertulis dimana kain tapis disebutkan digunakan sebagai hadiah. Bahkan ada koleksi kain tapis berumur sekitar 400 tahun yang masih bisa bertahan hingga sekarang dan disimpan dalam musim yang ada di Inggris dan Amerika.

Seiring berjalannya waktu, para pengrajin ini mulai membuat modifikasi kerajinan pembuatan kain mereka dan kemudian berkembang menjadi inovasi seperti kain tapis yang kita kenal saat ini. Ragam corak sulaman kain tapis sangat kaya. Kekayaan ini adalah hasil perjalanan kain tapi melewati berbagai masa yang dipengaruhi berbagai kebudayaan dan agama yang masuk ke Lampung. Mulai dari masa kepercayaan animisme yang bisa dilihat dari corak pohon hayat, yaitu pohon yang dikeramatkan oleh masyarakat pada waktu itu. Pohon ini dipercaya mempunyai kekuatan magis karena berisi roh para leluhur. Lalu kemudian kain tapis melawati zaman perunggu yang ditandai dengan kedatangan budaya Dongson yang berasal dari Siam. Siam sekarang lebih dikenal sebagai Vietnam. Ini bisa dilihat dari ada corak sulaman kain tapis yang berbentuk seperti nekara perunggu, yaitu instrumen musik yang berasal dari budaya Dongson.

Selanjutnya corak kain tapis berkembang lagi dengan pengaruh dari Hindu dan Budha. Ini bisa dilihat dari motif sulaman berbentuk makhluk hidup. Ketika masa Islam datang praktek menyulam dengan motif makhluk hidup mulai berkurang dan diganti dengan bentuk-bentuk geometri. Belanda yang pernah menjajah Indonesia juga turut mempengarahui motif yang dibuat oleh para penenun kain tapi pada masa penjajahan.

Perjalanan panjang melewati berbagai zaman membuat kain tapis mempunyai lebih dari 200 motif yang berbeda. Namun dari jumlah itu hanya tinggal sekitar 30 motif yang masih diproduksi dan dikenal hingga kini. Proses penenunan kain tapis tradisional melibatkan pembuatan bahan baku kain yang terbuat dari katun. Kain ini kemudian diberi warna menggunakan bahan baku seperti buah pinang, daun pacar, dan kulit kayu kejal yang menghasilkan warna merah. Sementara itu ada juga bahan pewarna yang terbuat dari kayu kayu salam dan kayu rambutan yang bisa menghasilkan warna hitam. Untuk membuat warna cokelat digunakan kulit kayu mahogani dan kayu durian. Warna kuning bisa diambil dari kunyit dan kapur sirih. Sementara warna biru bisa dihasilkan dari buah deduku dan daun talom. Setelah proses pewarnaan, selanjutnya kain katun direndam dalam campuran air akar serai wangi. Proses perendaman ini digunakan untuk mengawetkan kain.

Meskipun mempunyai kemiripan dengan kain songket, namun kain tapis mempunyai keunikannya sendiri. Ini bisa dilihat pada proses terakhir dimana benang emas atau perak “dicucuk” langsung keatas permukaan kain katun, bukannya dipintal bersama kain katun. Karena berbagai langkah yang diperlukan untuk membuat satu lembar kain tapis begitu panjang, maka ini berpengaruh terhadap waktu pembuatannya yang bisa mencapai berbulan-bulan. Mungkin karena sulitnya proses tersebut, maka saat ini proses pembuatan kain tapis secara tradisional akan sudah semakin langka. Sekarang para pengrajin kain tapis lebih suka membeli kain katun yang sudah jadi. Lalu kemudian menggunakan pelarut untuk membuat warna kain agar mirip dengan kain yang diwarnai dengan bahan pewarna tradisional. Proses ini menyebabkan pengrajin kain tapis bisa menghasilkan beberapa lembar kain tapis dalam sebulan. Pada satu sisi teknik ini bisa memberikan keuntungan bagi para penenun, karena mereka tidak lagi disibukkan dengan proses pemintalan kain katun, pewarnaan, hingga pengawetan. Jadi mereka bisa fokus pada motif yang ingin disulam diatas kain tapis. Namun pada sisi lain semakin langka-nya pengrajin yang menguasai teknik pembuatan kain tapis secara tradisional membuat kain tapis kehilangan salah satu daya tariknya. Jika dibiarkan terus seperti ini, mungkin proses pembuatan kain tapis dengan teknik tradisional akan punah dimakan waktu.

Dimasa lalu kain tapis digunakan untuk berbagai acara oleh kaum perempuan. Misalnya ketika suami mereka sedang melakukan pengambilan gelar Sutan, dipakai oleh para orang tua perempuan pada acara pernikahan anak, dipakai oleh pengantin perempuan, dipakai pada saat acara sunatan, dan berbagai acara adat lainnya. Jika dalam acara adat diadakan pementasan tarian, maka para penari perempuan biasanya juga mengenakan kain tapis. Ada kain tapis yang juga digunakan oleh kaum pria, tapi jumlahnya tidak sebanyak seperti yang dimiliki oleh kaum perempuan. Misalnya kain tapis bidak cakil yang biasanya digunakan oleh pria pada saat menghadiri acara adat. Juga ada tapis kaca yang umumnya digunakan oleh para pengiring penganti perempuan, tapi kadang-kadang juga digunakan oleh pria pada saat upacara adat. Kerumitan motif dan bahan baku yang digunakan bisa menunjukkan status sosial dari sang pemakai. Misalnya ada motif kain tapis tertentu yang dulu digunakan hanya oleh istri para Sutan. Namun sekarang motif kain tapis tersebut tidak hanya dimonopoli oleh kaum bangsawan. Warga biasa sekarang bebas menggunakan motif yang mereka sukai.

Sumber:
Pic: http://www.indonesia.travel

http://jalan2.com

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

No comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2015. Tapis Jakarta.
Design by Herdiansyah Hamzah - Distributed By Blogger Templates
Creative Commons License