Sesungguhnya hukum shalat gerhana (matahari dan bulan) adalah
sunnah muakkadah (anjuran yang dikukuhkan) menurut seluruh ahli fikih, kecuali
dalam madzhab Hanafi yang menyatakan wajib. Namun pendapat yang benar adalah
pendapat pertama, yaitu sunnah muakkadah.
Dalil yang memalingkannya dari hukum wajib adalah hadits tentang
seorang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tentang shalat yang diwajibkan oleh Allah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “(Allah hanya mewajibkan atasmu) shalat lima waktu, kecuali
jika engkau ingin ber-tathawu’ (manambah) dengan sesuatu.” (HR. Bukhari no.
1758, 6442)
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Dalil yang menunjukkan sunnah muakkadah adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda
kekuasaaan dari tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidaklah gerhana karena
kematian atau kelahiran seseorang, maka jika kalian melihat keduanya (gerhana),
berdo’alah, dan shalatlah hingga keduanya tampak.” (Muttafaq ‘alaih)
Adapun meng-qadha’-nya jika telah keluar dari waktunya, maka ini
tidak disyari’atkan. Imam Ibnu Qudamah berkata, “Pasal shalat kusuf adalah
sunnah muakkadah dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan dan
memerintahkannya. Waktunya dari saat gerhana hingga saat kembali. Jika telah
ketinggalan, maka tidak di-qadha’ karena telah diriwayatkan dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, ‘Jika kalian melihat yang
demikian, maka bersegeralah (melakukan) shalat hingga nampak.’
Beliau menjadikan tampaknya matahari sebagai akhir dari shalat
dikarenakan shalat tersebut disunnahkan sebagai bentuk pengharapan kepada Allah
Ta’ala agar Dia mengembalikannya. Jika yang demikian telah terwujud, maka telah
berhasilah tujuan dari shalat. Jika matahari telah tampak, sementara dia sedang
dalam keadaan shalat, maka dia meringankan dan menyempurnakannya.” (Al-Mughni
4/318)
Sifat Shalat Kusuf
Shalat kusuf tidak disyari’atkan kecuali saat melihat hilangnya
cahaya matahari secara kesuluruhan atau sebagiannya. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya matahari dan bulan tidak akan
gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya adalah
dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Dia memperlihatkan keduanya kepada
para hamba-Nya, maka jika kalian melihat yang demikian, bersegeralah menuju
shalat.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam lafadz yang lain, “Maka bersegeralah menuju dzikir
kepada-Nya, berdo’a, dan beristighfar kepada-Nya.” (HR. Bukhari no. 1043,
Muslim no. 2067)
Dalam lafadz Ahmad (6467), “Maka bersegeralah menuju masjid.”
Kemudian untuk mengetahui terjadinya gerhana tidak perlu kita
menoleh kepada perkataan ahli astronomi, tetapi cukuplah kita menunggu
hingga benar-benar terjadi gerhana. Imam Nawawi berkata, “Ad-Darimi dan
yang lainnya berkata, ‘Dalam shalat gerhana tidak boleh mengamalkan perkataan
ahli astronomi.’” (Al-Majmu’ (5/45))
Shalat kusuf disyari’atkan saat hilangnya sebagian cahaya
matahari pada menit-menit pertama.
Madzhab Hanbali, “Bab shalat kusuf (yaitu hilangnya cahayasalah
satu dari dua sumber cahaya) yaitu matahari dan bulan, atau hilangnya sebagian
(yakni cahayanya) maka hukumnya adalah sunnah muakkad.”
Al-Malikiyah menyepakatinya, kecuali jika cahaya itu berkurang
sedikit, sekiranya tidak bisa diketahui kecuali oleh orang yang mengerti ahli
astronomi. Di dalam kitab Minahul Jali oleh Muhammad ‘Alisy
Al-Maliki disebutkan, “Disunnahkan (bagi gerhana matahari), yakni hilangnya
sinar matahari seluruh atau sebagiannya, selama hilangnya sinar itu tidak
sangat sedikit hingga tidak mengetahuinya kecuali hanya astronom dan ahli
hisab.”
Shalat kusuf tidak disyari’atkan kecuali saat melihat hilangnya
cahaya matahari total atau sebagian. Al-Malikiyah berkata, “Kecuali jika berkurangnya
cahaya tersebut sangat sedikit.”
Shalat ini hukumnya sunnah muakkad menurut jumhur ahli ilmu,
maka hendaklah setiap muslim segera bertaubat dan beristighfar saat terjadinya
peristiwa tersebut sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkannya
kepada umatnya. Tidaklah selayaknya menyikapinya sebagai suatu peristiwa yang
biasa, karena sebagian hikmahnya menurut Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah, “Dengan gerhana itu Allah menakut-nakuti para hamba-Nya.” (HR.
Bukhari no. 1043)
Tata Cara Shalat Kusuf
Tata caranya yaitu seseorang shalat dua rakaat. Diawali dengan
takbiratul ihram, membaca do’a istiftah, membaca ta’awudz, membaca surat
Al-Fatihah, membaca surat Al-Baqarah atau surat panjang yang seukuran
dengannya. Kemudian ruku’ dan bertasbih, menyucikan Allah sebanyak 100 kali,
kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata, “sami’allahu liman hamidah,
rabbana walakal hamdu.” Kemudian membaca surat Al-Fatihah dan Ali Imran atau
yang sepadan dengannya.
Kemudian ruku’ selama 2/3 ruku’ yang pertama. Kemudian
bangkit dari ruku’ untuk I’tidal dengan bertahmid. Kemudian ia bersujud,
dan memanjangkan sujudnya. Kemudian dia berdiri menuju rakaat yang kedua,
membaca surat Al-Fatihah dan surat An-Nisa’, kemudian ruku’ dan bertasbih seukuran
2/3 dari tasbih pada ruku’ yang kedua. Kemudian bangkit dari ruku’ dan membaca
surat Al-Fatihah serta surat Al-Maidah. Kemudian ruku’ dan memanjangkannya,
yang panjangnya kurang dari ruku’ sebelumnya. Kemudian bangkit dari ruku’
dan bertahmid. Kemudian sujud dan memanjangkan sujudnya.
Maka dua rakaat tersebut, pada tiap rakaatnya terdiri dari dua
qiyam (berdiri), dua bacaan Al-Qur’an, dua ruku’, dan dua sujud. Jika melakukan
shalat gerhana dua rakaat seperti halnya mengerjakan shalat sunnah biasa, maka
shalatnya sah. Seandainya ia shalat dengan enam ruku’ pada setiap rakaatnya
terdapat tiga ruku’, maka shalatnya sah. Semua itu telah diriwayatkan dalam
sunnah.
Dalil akan sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini
ada pada riwayat Bukhari (4/163), Bab Khutbatul Imam fil Khusuf no. 1032)) dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Terjadi gerhana pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, maka beliau keluar menuju masjid, maka manusia pun berbaris
dibelakang beliau. Maka bertakbirlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
lalu membaca bacaan yang panjang. Kemudian beliau bertakbir, lalu ruku’ dengan
ruku’ yang panjang. Kemudian beliau membaca sami’allahu liman hamidah. Kemudian
beliau berdiri dan tidak sujud. Lalu membaca bacaan yang panjang yang lebih ringan
daripada bacaan yang pertama. Kemudian beliau bertakbir dan ruku’ dengan ruku’
yang panjang, yang lebih ringan dari ruku’ yang pertama. Kemudian beliau
berkata sami’allahu liman hamidah, rabbana walakal hamdu. Kemudian beliau
sujud. Kemudian beliau membaca pada rakaat yang terakhir seperti itu dan beliau
menyempurnakan empat ruku’ pada empat sujud. Kemudian tampaklah matahari
sebelum beliau selesai shalat. Kemudian beliau berdiri (berkhutbah), menyanjung
Allah dengan apa yang pantas bagi Allah . Kemudian beliau bersabda,
‘Sesungguhnya keduanya adalah tanda dari tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak
akan mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang, maka jika
kalian melihat keduanya, bersegeralah untuk shalat.’” (HR. Bukhari no. 988)
Adapun tata cara memanggil orang-orang untuk shalat kusuf, maka
telah tetap dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau memerintahkan
shalat dengan berkata, “Shalatu jaami’ah (shalat berjama’ah)” (HR. Bukhari
(4/160), Muslim (4/444))
Dan disunnahkan bagi yang menyeru untuk mengulang-ulang
seruannya itu hingga ia menyangka telah memperdengarkan seruan itu kepada
masyarakat. Allahu a’lam.
Sumber:
Majalah Qiblati edisi 11 tahun II-Agustus 2007
No comments:
Post a Comment