Dalam sejarah kebudayaan dan perdagangan di
Nusantara, Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia,
disamping kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai, dan Tarumanegara. Meskipun belum
banyak catatan sejarah yang mengungkapkan keberadaan kerajaan ini, namun
catatan Cina kuno menyebutkan pada pertengahan abad ke-4 seorang pejiarah Agama
Budha yang bernama Fa-Hien, pernah singgah di sebuah kerajaan yang makmur dan
berjaya, To-Lang P’o-Hwang (Tulang Bawang) di pedalaman Chrqse (pulau emas Sumatera). Sampai saat ini
belum ada yang bisa memastikan pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah
Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang
Bawang (antara Menggala dan Pagardewa) kurang
lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala.
Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P’o Chie (Sriwijaya), nama dan kebesaran
Tulang Bawang sedikit demi sedikit semakin pudar. Akhirnya sulit sekali
mendapatkan catatan sejarah mengenai perkembangan kerajaan ini.
Ketika Islam mulai masuk ke bumi Nusantara
sekitar abad ke-15, Menggala dan alur sungai Tulang Bawang yang kembali marak
dengan aneka komoditi, mulai kembali di kenal Eropa. Menggala dengan komoditi
andalannya lada hitam, menawarkan harga yang jauh lebih murah dibandingkan
dengan komoditi sejenis yang didapat VOC dari Bandar Banten. Perdagangan yang
terus berkembang, menyebabkan denyut nadi Sungai Tulang Bawang semakin kencang,
dan dijadikan sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal dari berbagai pelosok
nusantara, termasuk Singapura.
Perkembangan politik Pemerintahan Belanda yang
terus berubah, membawa dampak dengan ditetapkanya Lampung berada dibawah
pengawasan langsung Gubernur Jenderal Herman Wiliam Deandles mulai tanggal 22
November 1808. Hal ini berimbas pada penataan sistem pemerintahan adat yang
merupakan salah satu upaya Belanda untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Pemerintahan adat mulai ditata sedemikian rupa,
sehingga terbentuk Pemerintahan Marga yang dipimpin oleh Kepala Marga (Kebuayan). Wilayah Tulang Bawang sendiri dibagi dalam 3
kebuayan, yaitu Buay Bulan, Buay Tegamoan dan Buay Umpu (tahun 1914, menyusul dibentuk Buay Aji).
Sistem Pemerintahan Marga tidak
berjalan lama, dan pada tahun 1864 sesuai
dengan Keputusan Kesiden Lampung No. 362/12 tanggal 31 Mei 1864, dibentuk
sistem Pemerintahan Pesirah. Sejak itu pembangunan berbagai
fasilitas untuk kepentingan kolonial Belanda mulai dilakukan termasukdi
Kabupaten Tulang Bawang.
Kebudayaan
Tulang Bawang yang merupakan penyimbang punggawa dari Kepaksian Skala Brak
adalah satu kesatuan dari budaya-budaya dan etnis Lampung yang lainnya, seperti
Keratuan Semaka, Keratuan Melinting, Keratuan Darah Putih, Keratuan Komering,
Sungkai Bunga Mayang, Pubian Telu Suku, Buai Lima Way Kanan, Abung Siwo Mego
dan Cikoneng Pak Pekon. (baca juga: tapis kaligrafi)
Pembagian dan pengaturan wilayah kekuasaannya diatur oleh Umpu Bejalan Diway berdasarkan daerah-daerah yang dialiri oleh sungai/way. Secara harfiah Bu-Way atau Buay berarti pemilik sungai/way atau pemilik daerah kekuasaan yang wilayahnya dialiri oleh sungai.
Pembagian dan pengaturan wilayah kekuasaannya diatur oleh Umpu Bejalan Diway berdasarkan daerah-daerah yang dialiri oleh sungai/way. Secara harfiah Bu-Way atau Buay berarti pemilik sungai/way atau pemilik daerah kekuasaan yang wilayahnya dialiri oleh sungai.
Sumber:
Pic: http://tulangbawangkab.go.id/
Pic: http://tulangbawangkab.go.id/
http://northmelanesian.blogspot.co.id/
http://tulangbawangkab.go.id/
No comments:
Post a Comment