Pages

Mengenal Tradisi Kawin Lari Di Desa Bungkuk Provinsi Lampung

Friday, November 20, 2015

Budaya merupakan salah satu kekayaan negara Indonesia, karena negara yang memiliki berbagai macam etnis dan ras dari berbagai daerah yang mempunyai ciri khas budaya atau adat istiadat masing-masing. Salah satu daerah di Indonesia yang mempunyai keunikan tersendiri dalam adat istiadatnya yaitu daerah Lampung, tepatnya Desa Bungkuk, yang terletak di ujung Pulau Sumatra tepi Selat Sunda. Desa ini memiliki keunikan adat istiadat yang jarang ditemui di daerah lain, bahkan hampir tidak ada, khususnya bagi suku Lampung.

Suku Lampung di desa ini mempunyai ketentuan dan pilihan tersendiri ketika seseorang akan menjalankan sesuatu yang sakral yaitu dalam menjalankan pernikahan. Ada dua pilihan bagi laki-laki dan perempuan dewasa yang akan melangsungkan pernikahan, yaitu dengan lamaran dan ninjuk.

Menikah dengan dilamar sudah sangat lazim bagi masyarakat umum, namun berbanding terbalik dengan ninjuk yang mungkin hampir tidak di kenal masyarakat Indonesia, kecuali masyarakat Lampung, khususnya di Desa Bungkuk. Ninjuk yaitu kawin lari yang telah menjadi kesepakatan laki-laki dan perempuan yang hendak menikah, tanpa senpengetahuan pihak keluarga perempuan tetapi sebaliknya terhadap pihak keluarga laki-laki bahkan telah dipersiapkan dengan matang oleh keluarga laki-laki. Biasanya laki-laki dan perempuan yang mengawali pernikahan dengan ninjuk, keduanya adalah sama-sama suku Lampung. Yang menjadi titik perhatian penulis yaitu ninjuk, kebiasaan ini sedikit rumit, tapi inilah tradisi orang-orang suku Lampung di desa ini dan memiliki cara dan khas tersendiri, baik dari segi pelaksanaan ataupun manfaat dan lainnya.

Ninjuk menjadi kesepakatan antara laki-laki dan perempuan tanpa sepengetahuan pihak keluarga perempuan, yaitu perempuan dibawa ke rumah pihak laki-laki, dengan syarat perempuan meninggalkan pengepik (syarat tanda larian) berupa “uang dan barang emas” dirumahnya yang diberikan oleh laki-laki yang biasanya syarat tersebut telah disediakan dari pihak keluarga laki-laki. Adapun pengepik yang berupa uang tersebut boleh dipakai oleh keluarga perempuan sesuai kesepakatan kedepan,sedangkan pengepik barang emas, mutlak harus dikembalikan pada acara pesta pernikahan yang akan berlangsung di kemudian hari.

Khusus bagi pihak laki-laki pada saat membawa perempuan ninjuk, juga ada dua pilihan. Pertama, biasanya dibawa langsung ke rumah laki-laki dengan cara ketika perempuan sampai di rumah keluarga laki-laki, maka keluarga laki-laki membunyikan gong yang telah disiapkan untuk memberitahukan kepada masyarakat sekitar, bahwa laki-laki tadi membawa dan akan menpersunting gadis di rumahnya. Karena sudah menjadi adat pula, bahwa apabila ada gong berbunyi di rumah seorang laki-laki maka itu suatu pertanda ada gadis yang akan dipersunting di rumah laki-laki tersebut. Sedangkan yang kedua tidak langsung dibawa kerumah laki-laki, melainkan dibawa terlebih dahulu ke rumah penghulu.

Biasanya jika memilih ninjuk,  maka pihak laki-laki akan memilih pilihan yang pertama, yaitu langsung membawa perempuan ke rumah karena sejak awal ninjuk sudah memakai cara adat yang menjadi bagian tujuan. Pilihan pertama ini juga mempunyai beberapa ketentuan yang harus di jalankan. Apabila tidak, maka akan dikenakan denda sesuai dengan adat yang berlaku, yaitu pihak laki-laki wajib menggantungkan pajangandi sebuah ruangan khusus untuk pengantin yang dihias dengan pernak-pernik adat lampung seperti pelaminan untuk calon mempelai perempuan sejak si perempuan menginjakkan kaki dirumah laki-laki. Apabila pajangan tidak dipenuhi, maka pihak laki-laki harus membayar denda adat yang tidak bisa dilaksanakan.

Bagi pihak keluarga perempuan, setelah menemukan pengepik yang ditinggalkan sebagai syarat, maka salah satu perwakilan pihak perempuan membawa pengepik tadi kepada penyimbang adat (tokoh adat) untuk menjelaskan bahwa perempuan tadi ninjuk dan memperlihatkan pengepik sebagai bukti yang ditinggalkan. Kemudian beberapa perwakilan dari pihak perempuan dengan penyimbang adat pergi kerumah laki-laki untuk memastikan benar tidaknya si perempuan berada di rumah laki-laki tersebut. Setelah perempuan benar-benar dirumah laki-laki, maka kedua belah pihak mengadakan musyawarah untuk membahas acara pernikahan yang akan laksanakan di kemudian hari.

Disela-sela acara ijab kabul,ada sebuah tradisi pengembalian pengepik dari pihak keluarga perempuan terhadap keluarga laki-laki dengan memberitahukan kepada seluruh tamu yang hadir bahwa pihak perempuan telah mengembalikan pengepik berupa uang dan barang emas dengan tujuan para tamu menjadi saksi pengembalian pengepik.

Kemudian di Desa Bungkuk ketika telah terlaksananya ijab kabul, tradisi berlanjut pada mandi blange yaitu arak-arakan kedua pengantin keliling kampung dengan pakaian khas adat lampung yang diiringi dengan musik Lampung dengan alat musik yang masih sangat tradisional. Setelah semua acara selesai, pada sore harinya pengantin perempuan diantarkan ke kali (mata air jernih) untuk mandi dengan mengenakan baju adat.

Kedua tradisi ini,  mandi blange dan pergike kali dengan mengenakan baju adat sama halnya dengan menggantungkan pajangan yang apabila tidak dilaksanakan, maka akan dikenakan denda bagi pihak laki-laki. Terhitung dari hari ini ketika semua acara selesai, maka menunggu tujuh hari untuk melaksanakan acara adat terakhir, yaitu lepas pajangan  sekaligus manjau sabai atau temu besan, yang untuk kedua pengantin bermalam atau menginap di rumah pengantin perempuan, sedangkan untuk keluarga dan kerabat pengantin laki-laki biasanya memilih untuk pulang. Dua acara inilah yang menjadi tanda selesainya acara adat.

Tradisi ini memiliki proses yang cukup lama, sehingga nilai adat di dalamnya lebih terasa dan mempunyai makna tersendiri. Oleh karena itu, penulis beranggapan, bahwa tradisi ninjuk ini mempunyai beberapa nilai positif, diantaranya walaupun hidup dizaman modern, kecil kemungkinan ada istilah perjodohan, seperti pada zaman Siti Nurbaya sehingga laki-laki dan perempuan bebas memilih pasangan hidupnya, dan tradisi ini secara tidak langsung telah melestarikan adat istiadat dari nenek moyang. Adapun sisi negatif yang terlihat pada tradisi ninjuk ini yaitu sedikit mengebelakangkan restu keluarga sebelum menikah, padahal restu keluarga sangat penting, terutama bagi calon mempelai perempuan.

Sumber:
Pic: irwanpratubangsawan.wordpress.com
http://www.islamcendekia.com/

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

No comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2015. Tapis Jakarta.
Design by Herdiansyah Hamzah - Distributed By Blogger Templates
Creative Commons License